HADIS DAN ILMU HADIS
I. Pengertian
Hadits
Hadits
adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmah nya
Taqrir adalah
perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui Rosulullah dan beliau
mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau
beliau tidak menunjukkan pengingkarannya.
Himmah adalah
hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya hadits riwayat Ibnu Abbas :
Dikala Rosulullah saw berpuasa pada
hari Asura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada
Nabi, mereka berkata : Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan
oleh Yahudi dan Nasrani, Rasulullah menyahuti : Tahun yang akan datang, Insya
Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan. (HR Muslim dan Abu Dawud)
tetapi
Rasulullah tidak sempat merealisasikannya, disebabkan beliau telah wafat.
Menurut Imam
Syafii bahwa menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani
mengatakan tidak termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh Rasulullah.
Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi
setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.
Atsar adalah segala sesuatu yang lebih umum dari hadits dan khabar, yaitu
termasuk perkataan tabiin, tabiit-tabiin dan para ulama salaf.
Biasanya perkataan yang disandarkan atau berasal
dari selain Nabi disebut atsar.
Sunnah adalah Jalan hidup atau kebiasaan yang ditempuh dalam berbuat dan
beritiqad (berkeyakinan). Dikatakan sunnah Nabi jika itu disyariatkan, ditempuh
dan diridloi oleh Nabi.
Hadits Qudsi adalah hadits yang mengandung kalimat langsung
perkataan Allah, cirinya dimulai dengan Allah berkata
Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Quran :
a. Semua lafad
ayat-ayat Al-Quran adalah mukjizat dan mutawatir, sedang Hadits Qudsi tidak.
b. Perlakuan
terhadap Al-Quran -dilarang menyentuhnya bagi yang berhadas kecil, dilarang
membacanya bagi yang ber hadas besar- tidak berlaku bagi Hadits Qudsi.
c. Membaca
Al-Quran setiap hurufnya mendatangkan pahala, sedang membaca Hadits Qudsi
tidak.
d. Al-Quran
semua susunan kata-katanya redaksinya berasal dari Allah, sedangkan Hadits
Qudsi redaksi kata-katanya terserah Rasulullah.
II. Kedudukan
Hadits Dalam Hukum Islam
Sumber Hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran dan yang kedua adalah
Hadits.
Sebab-sebab Al-Quran lebih tinggi derajadnya dari hadits :
1. Al-Quran
kita terima dari Nabi dengan jalan Qothi (pasti) karena didengar dan dihafal
oleh sejumlah sahabat dan ditulis oleh para penulis wahyu. Sedangkan hadits
tidak semuanya dihafal atau dituliskan dan tranmisinya berupa dzan (dugaan
kuat).
2. Para sahabat
mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf dan mentranmisikan materinya kepada
umat dalam keadaan aslinya (redaksinya) sehuruf pun tidak berubah, tidak
bertambah dan tidak berkurang dan mushaf itupun terpelihara dengan sempurna
dari masa ke masa. Sedangkan materi hadits dapat diriwayatkan
dengan maknanya saja.
3. Semua ayat
Al-Quran Mutawatir. Sedangkan hadits kebanyakan tidak mutawatir.
4. Al-Quran
merupakan pokok yang memuat prinsip dasar dan hadits adalah penjelas dari yang
pokok atau hadits adalah cabang dari yang pokok. Bila hadits yang cabang
mendatangkan yang bertentangan dengan Al-Quran yang pokok maka ditolak.
5. Ijma
Sahabat, yaitu Khalifah Abu Bakar, Umar bila akan memutuskan hukum suatu
perkara yang belum ada keputusan hukumnya pada masa Rasulullah maka mereka
merujuk ke Al-Quran, bila tidak ditemukan di Al-Quran maka Khalifah
mengumpulkan sahabat-sahabat besar untuk ditanyakan apakah ada yang pernah
mendengar Hadits Rosulullah, mengenai masalah tersebut, bila ada yang
menyebutkan haditsnya maka Khalifah memutuskan hukum berdasarkan hadits
tersebut. Metode tersebut juga dilakukan oleh Usman dan Ali dan tidak ada yang
menyelisihi mengenai hal ini.
6. Dalam hadits
sendiri menunjukkan bahwa Al-Quran lebih tinggi kedudukannya, yaitu hadits Muadz
Bin Jabal ra yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, yang menjelaskan
urut urutan sumber hukum islam yaitu : Al-Quran, Hadits dan ajtahidu royii
ijtihad dengan akal
Sumber hukum
Islam yang ketiga adalah Ijma (konsensus) ulil-amri (pemegang urusan yaitu
umaro dan ulama) kemudian yang keempat adalah dalil akal.
Dalil akal ini ada sekitar 40 tools yang dibahas secara terperinci dalam
ilmu ushul fikih, yang terkenal adalah :
1. Qiyas
(analogi)
2. Ihtisan
(keluar dari qiyas umum karena ada sebab yang lebih kuat)
3. Maslahah
Mursalah (keluar dari qiyas umum dengan pertimbangan kemaslahatan)
4. Saddudz
Dzariah (menutup jalan yang menuju kemudhorotan)
5. Ar Rajuu
ilal manfaati wal madharrati (mempertimbangkan kemanfaatan dan kemudhorotan)
6. Istishab
(hukum yang diyakini menetap sebelumnya tidak dapat dirubah oleh yang masih
meragukan)
7. Urf
(kebiasaan yang berlaku pada suatu kaum dapat menjadi hukum).
dan lain
lain sampai sekitar 40 macam.
Fungsi
Hadits terhadap Al-Quran :
1. Memperkuat
hukum yang ada di Al-Quran.
2. Menerangkan
(bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Quran.
3. Merinci
hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Quran.
4. Mentakhsish
(meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Quran.
5. Menghapus
(nasakh) hukum yang ada di Al-Quran.
6. Melengkapi
hukum yang belum ada di Al-Quran.
Untuk
memahami dengan baik tentang hal ini diperlukan penguasaan ilmu-ilmu Al-Quran
(ulumul Quran) dan menguasai nahwu-sharaf bahasa Arab serta menguasai
kaidah-kaidah yang mengatur kapan suatu hadits dapat mentakhsish atau me nasakh
Al-Quran. Kemampuan ini harus dimiliki oleh seorang mujtahid.
III. Sejarah dan
Perkembangan Ilmu Hadits
A. Periode Pertama (Jaman Rosul)
- Para sahabat
bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap permasalahan
atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi.
- Para sahabat
lebih concern dengan menghapal dan mempelajari Al-Quran
- Secara umum
Rasulullah saw melarang menuliskan hadits karena takut tercampur baur dengan
ayat Al-Quran karena wahyu sedang / masih diturunkan.
- Secara umum
sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak menuliskan hadits, mereka
meriwayatkan hadits mengandalkan hafalan secara lisan.
- Sebagian kecil sahabat yang pandai
baca tulis- menuliskan hadits seperti : Abdullah Bin Amr Bin Ash yang mempunyai
catatan hadits dan dikenal sebagai Shahifah Ash Shadiqah juga Jabir Bin
Abdullah Al Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai Shahifah
Jabir
- Pada event
tertentu orang arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi meluluskan
permintaannya untuk menuliskan hadits untuknya.
- Para sahabat
masih disibukkan dengan peperangan penaklukan kabilah-kabilah di seluruh
jazirah Arab.
- Para sahabat
yang belum paham tentang suatu hukum bisa saling bertanya kepada yang lebih
tahu dan saling mempercayai penuturannya.
B. Periode Kedua (Masa Khulafaur Rasyidin)
- Sebagian
sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam jihad penaklukan
ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia.
- Pada daerah
taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah Umar menekankan agar mengajarkan
Al-Quran terlebih dahulu kepada mereka.
- Khalifah Abu
Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan hadits
kepadanya.
- Khalifah Ali
meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits
- Khalifah
Umar melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang memperbanyak
periwayatan hadits.
- Setelah
Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota Madinah tersebar ke Ibukota
daerah taklukkan untuk mengajarkan agama.
C. Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabiin Besar)
- Para sahabat
besar telah terpencar kelur dari Madinah.
- Jabir pergi
ke Syam menanyakan hadits kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al Anshary.
- Abu Ayyub Al
Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir untuk menanyakan hadits.
- Masa ini
sahabat besar tidak lagi membatasi diri dalam periwayatan hadits, yang banyak
meriwayatkan hadits antara lain :
a. Abu Hurairah
(5347 hadits)
b. Abdullah Bin
Umar (2360 hadits)
c. Anas Bin
Malik (2236 hadits)
d. Aisyah,
Ummul Mukminin (2210 hadits)
e. Abdullah Bin
Abbas (1660 hadits)
f. Jabir Bin
Abdullah (1540 hadits)
g. Abu Said Al
Kudri (1170 hadits)
h. Ibnu Masud
i. Abdullah Bin
Amr Bin Ash
- Pada waktu pemerintahan Khalifah
Ali, terjadi pemberontakan oleh Muawiyah Bin Abu Sofyan, setelah peristiwa
tahkim (arbitrase) muncul kelompok (sekte) kawarij yang memusuhi Ali dan
Muawiyah. Setelah terbunuhnya Khalifah Ali, muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan
keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan
Bani Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan hadits palsu yang bertujuan
mendukung masing-masing kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat hadits
palsu adalah Syiah Rafidah.
D. Periode Ke-empat (Masa Pembukuan Hadits)
- Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz
(Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa, beliau
dikenal sebagai orang yang adil dan wara bahkan sebagian ulama menyebutnya
sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5, tergeraklah hatinya untuk membukukan
hadits dengan motif :
a. Beliau
khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
b. Kemauan
beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai banyak beredar.
c. Al-Quran
sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur
dengan hadits bila hadits dibukukan.
d. Peperangan
dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama
kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat
dalam peperangan-peperangan tersebut.
- Khalifah Umar menginstruksikan
kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm)
untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabiin wanita Amrah Binti
Abdur Rahman Bin Saad Bin Zurarah Bin Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin.
Khalifah
Umar Bin Abdul Azis menulis instruksi kepada Ibnu Hazm :
Lihat dan periksalah apa yang dapat
diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap
ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits
Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis
ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak
lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.
- Berdasarkan instruksi resmi Khalifah
itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin
Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry)-seorang ulama
besar dan mufti Hijaz dan Syam- untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw.
- Setelah itu
penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang
terkenal diantaranya :
a. Al-Muwaththa,
karya Imam Malik Bin Anas (95 H 179 H).
b. Al Masghazy
wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
c. Al
Mushannaf, karya Sufyan Ibn Uyainah (198 H)
d. Al Musnad,
karya imam Abu Hanifah (150 H)
e. Al Musnad,
karya imam Syafii (204 H)
E. Periode ke-lima (Masa Kodifikasi Hadits)
1. Periode Penyaringan hadits dari Fatwa-fatwa sahabat (abad ke-III H)
- Menyaring
hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat nabi
- Masih
tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu (palsu).
- Pertengahan
abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan ke sahihan hadits.
- Penyaringan
hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam Bukhary).
- Penyempurnaan
kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu hadits.
- Penyusunan kitab Sahih Bukhory
- Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus
sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui oleh jumhur ulama sebagai
kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian masih mengandung hadits
dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang tidak
keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu adalah :
a. Sahih
Bukhory
b. Sahih Muslim
c. Sunan Abu
Dawud
d. Sunan An
Nasay
e. Sunan
At-Turmudzy
f. Sunan Ibnu
Majah
2. Periode menghafal dan meng isnadkan hadits (abad ke-IV H)
- Para ulama
hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang sudah tersusun pada kitab-kitab
hadits.
- Para ulama
hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang tercantum pada kitab-kitab
hadits.
- Ulama hadits
menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk kuttubus shittah.
3. Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H
s.d 656 H, jatuhnya Baghdad)
- Mengklasifikasikan
hadits dan menghimpun hadits-hadits yang sejenis.
- Menguraikan
dengan luas (men syarah) kitab-kitab hadits.
- Memberikan
komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
- Meringkas
(ikhtisar) kitab-kitab hadits.
- Menciptakan
kamus hadits.
- Mengumpulkan
(jami) hadits-hadits bukhory-Muslim
- Mengumpulkan
hadits targhib dan tarhib.
- Menyusun kitab athraf, yaitu kitab
yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya,
baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
- Menyusun kitab istikhraj, yaitu
mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory Muslim umpamanya, lalu
meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau Muslim
karena tidak memperoleh sanad sendiri.
- Menyusun kitab istidrak, yaitu
mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau
syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh
keduanya.
F. Periode ke-enam (dari tahun 656 H sekarang)
- Mulai dari
jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 656 H sekarang ini.
- Menertibkan,
menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
- Membuat
kitab-kitab jami
- Menyusun
kitab-kitab athraf
- Menyusun kitab-kitab zawaid, yaitu
mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang
sebelumnbya kedalam sebuah kitab yang tertentu.
IV. Pembagian
Ilmu Hadits
Ilmu hadits dibagi menjadi dua :
Hadits Riwayah dan Hadits Dirayah (mushthalahul hadits)
a. Hadits
Riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan
dan penulisan apa apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa
perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebagainya.
Yaitu bagaimana cara menerima,
menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau menuliskan dalam kitab
hadits. Dalam menyampaikan dan menuliskan hadits, hanya dinukil dan dituliskan
apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Ilmu ini tidak berkompeten
membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau ber illat, apakah sanadnya
terputus atau bersambungan. Lebih jauh tidak dibahas hal ihawa dan sifat sifat
perawinya.
Faedah mengetahui ilmu ini adalah
untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan
kepada Nabi Muhammad saw.
b. Hadits
Dirayah adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara
menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
Ilmu hadits dirayah ini disebut juga
ilmu Mushthalahul hadits. Kitab yang dianggap paling mapan menerangkan ilmu
Mushthalahul hadits adalah kitab Al-Kilafah karangan Al-Khatib Abu Bakar
Al-Baghdady (meninggal tahun 463 H).
Faedahnya untuk menetapkan ke
sahihan suatu hadits dan untuk menetapkan apakah hadits tersebut dapat diterima
(maqbul) untuk diamalkan atau ditolak (mardud) untuk ditinggalkan.
V. Ilmu
Mushthalah Hadits
Dalam
memperlajari mushthalah hadits atau dalam menentukan derajad (ke-sahih-an)
suatu hadits akan selalu terkait dalam 3 hal pokok yaitu : Rawi, Sanad
dan Matan
Unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah hadits :
a. Rawi
Rawi adalah
orang yang menyampaikan hadits, contoh dalam hadits :
Warta dari ummul Mukminin Aisyah ra, ujarnya : Rasulullah telah bersabda :
barang siapa yang mengada-adakan sesuatu yang bukan termasuk urusan (agamaku),
maka ia tertolak.
(Hadits Riwayat Bukhary Muslim)
dalam hadits
diatas Aiysah ra adalah rawi pertama dan Imam Bukhary dan Imam Muslim adalah
rawi terakhir. Antara rawi pertama dan rawi terakhir tentunya ada beberapa rawi
lagi yang biasanya tidak disebutkan untuk mempersingkat penulisan.
b. Matan
Matan adalah
materi atau isi dari hadits.
Dalam
meriwayatkan atau mentransmisikan materi (isi) hadits ada dua jalan, yang
keduanya tidak dilarang oleh Rasulullah saw, yaitu :
1. Dengan lafad
yang sama persis dari Rasulullah.
2. Dengan
maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang
meriwayatkannya.
c. Sanad
Sanad adalah
jalan atau jalur transmisi yang menghubungkan materi hadits (matan) kepada
Rasulullah saw.
Misalnya
seperti kata Imam Bukhary :
Telah mewartakan kepadaku Muhammad
Bin al-Mutsanna, ujarnya : Abdul Wahhab ats-tsaqafy telah mengabarkan kepadaku,
ujarnya : Telah bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas
dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda : Tiga perkara, yang barang siapa
mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman, yakni : 1. Allah dan Rasul-NYA hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. 2.
Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata dan 3.
Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan ke
neraka.
Dalam hal
ini materi hadits diterima oleh Imam Bukhary dari sanad pertama Muhammad Bin
al-Mutsanna, terus bersambung sampai dari sanad terakhir yaitu sahabat Anas ra.
Dengan
demikian Imam Bukhary menjadi sanad pertama bagi kita dan sebagai rawi terakhir
pada hadits tersebut diatas.
Dalam ilmu
hadits sanad ini merupakan neraca untuk menimbang sahih atau tidaknya suatu
hadits. Andaikata salah satu rawi dalam jalur transmisi (sanad) itu ada yang
fasik atau tertuduh dusta maka hadits tersebut menjadi dhaif (lemah).
5.1.
Pembagian Derajad / Jenis Hadits
Pembagian hadits ahad berdasarkan
derajad ke sahihan :
a. Sahih
b. Hasan
c. Dhoif
A. Hadits
Sahih
Hadits sahih adalah hadits yang
diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber illat dan tidak janggal (syadz)
Jadi suatu hadits dapat dikatakan
sahih apabila memenuhi lima persyaratan :
1. Semua
rawinya adil.
2. Semua
rawinya sempurna ingatan (dlabith)
3. Sanadnya
bersambung-sambung tidak putus
4. Tidak ber
iilat (cacat tersembunyi)
5. Tidak
janggal (Syadz)
Keadilan
Rawi
Keadilan seorang rawi menurut Ibnu
Samany harus memenuhi empat syarat :
1. Selalu
memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat.
2. Menjauhi
dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
3. Tidak
melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan
mengakibatan penyesalan.
4. Tidak
mengikuti pendapat salah satu sekte yang bertentangan dengan syara.
Sebab-sebab yang menggugurkan
keadilan seorang rawi :
1. Diketahui
dusta.
2. Tertuduh dusta.
3. Fasik.
4. Tidak
dikenal (jahalah)
5. Penganut
sekte bidah yang terang terangan dan bersangatan membela paham bidahnya.
Ulama-ulama hadits menerima
periwayatan tokoh-tokoh syiah yang dikenal benar dan kepercayaan.
Perawi yang tidak langsung ditolak
periwayatannya :
a. Orang yang
diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
b. Orang yang
banyak kesilapan dan menyalahi imam-imam yang kenamaan/kepercayaan.
c. Orang yang
banyak lupa.
d. Orang yanng
rusak akal (pikun) di masa tuanya.
e. Orang yang
tidak baik hafalannya.
f. Orang yang
menerima hadits dari sembarang orang saja, baik dari orang kepercayaan maupun
yang tidak kepercayaan.
Kalau ada pertanyaan : Bagaimana
mengetahui keadilan seorang rawi ?. Jawabannya adalah dengan mempelajari ilmu
Jarh wat Tadil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan
adanya aib atau memberikan penilaian adil kepada seorang rawi. Menurut Dr.
Ajjaj Al-Khatib Ilmu Jarh wat Tadil adalah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal
para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
Keadilan seorang rawi dapat
diketahui dengan salah satu dari tiga kaidah berikut :
1. Semua
sahabat nabi adalah adil, baik yang terlibat dalam masa pertikain dan
peperangan antar sesama kaum muslimin ataupun yang tidak terlibat.
Sahabat nabi adalah semua orang yang
pernah bertemu Nabi Muhammad saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah
saw masih hidup dan dalam keadaan Islam lagi beriman.
2. Dengan
kepopulerannya dikalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil,
seperti Anas Bin Malik, Sufyan Ats Tsaury, Syubah bin Al Hajjaj, Asy Syafii,
Ahmad Bin Hanbal, dsb.
3. Dengan
pujian dari seseorang yang adil, yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh
seorang yang adil, yang semula rawi itu belum dikenal atau belum populer
sebagai rawi yang adil.
Penetapan tentang kecacatan (tidak
adil) juga dapat ditentukan dengan kepopulerannya sebagai orang yang mempunyai
cacat sifat adilnya atau berdasarkan pentarjihan dari seseorang yang adil.
Men-tadil-kan atau men-tajrih-kan
seorang rawi itu ada kalanya tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) dan
adakalanya disebutkan sebab-sebabnya (mufassar). Untuk yang tidak disebutkan
sebab-sebabnya (mubham) diperselisihkan oleh para ulama tentang diterima atau
tidaknya, tapi jumhur ulama menetapkan bahwa men-tadil-kan tanpa menyebut
sebab-sebabnya diterima, karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu
kalau disebutkan semua tentu mubadzir. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima,
kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan
satu sebab saja.
Tentang jumlah orang yang dipandang
cukup untuk men-tadil-kan dan men-tajrih-kan rawi masih diperselisihkan apakah
minimal dua orang atau cukup satu orang saja.
Bila terjadi pertentangan antara
jarh dan tadil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-tadil-kan dan
sebagian ulama men-tajrih-kan, maka masih diperselisihkan tapi jumhur ulama
berpendapat Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah yang
men-tadil-kan lebih banyak daripada yang men-jarh-kan. Sebab bagi orang yang
men-jarh-kan tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh orang
yang men-tadil-kan, dan kalau orang yang men-jahr-kan dapat membenarkan orang
yang men-tadil-kan tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang
orang yang men-jahr-kan memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh
orang yang men-tadil-kan.
Perlu diperhatikan juga penilaian
jahr oleh beberapa Muhaditsin yang terkenal keterlaluan dan berlebihan dalam
men tajrih seorang rawi, yaitu Abu Hatim, An Nasaiy, Yahya Bin Main, Yahya Bin
Khaththan dan Ibnu Hibban.
Kitab-kitab yang membahas jahr dan
tadil rawi-rawi hadits yang terkenal diantaranya :
- Ad-Dluafa karya Imam Bukhary.
- Lisanul Mizan karya Al-hafidz Ibnu
Hajar Asqolany.
Kesempurnaan ingatan Rawi
Yang dimaksud sempurna ingatan
(dlabith) adalah orang yang kuat ingatannya, artinya ingatannya lebih banyak
daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau
seseorang sampai mempunyai ingatan (hafalan) yang kuat, sejak dari menerima
sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup
dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendaki orang tersebut disebut
dlabithush-shadri. Kalau berdasarkan buku catatan disebut dlabithul kitab.
Cacat-cacat yang merusakkan ke
sahihan hadits :
a. Terlalu
lengah dalam penerimaan hadits.
b. Banyak salah
dalam meriwayatkan hadits.
c. Menyalahi
orang-orang kepercayaan (syadz).
d. Banyak
berperasangka.
e. Tidak baik
hafalannya.
Sanad bersambung-sambung tidak putus
Yang dimaksud sanadnya
bersambung-sambung tidak putus yaitu sanad yang selamat dari keguguran. Dengan
kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari
guru yang memberikannya.
Untuk mengetahui apakah sanad hadits
itu bersambungan tidak putus atau tidak perlu mempelajari dua macam ilmu yaitu
: Ilmu Rijalil Hadits, ilmu Thabaqoh Ruwah dan Ilmu Tawarihi Ruwah.
Ilmu Rijalil Hadits adalah ilmu
pengetahuan yang membahas hal-ihwal dan sejarah kehidupan para rawi dari
golongan sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.
Ilmu Thabaqoh Ruwah adalah ilmu yang
membahas pengelompokan sahabat nabi dalam kelompok (thabaqoh) yang tertentu.
Thabaqoh pertama : sahabat yang pertama masuk Islam, thabaqoh kedua : sahabat
yang masuk Islam sebelum musyawarah orang musyrik Mekkah di Darun Nadwah yang
berencana membunuh Nabi Muhammad saw, thabaqoh ketiga : sahabat yang hijrah ke
habsy, thabaqoh keempat : sahabat peserta baiat aqabah pertama, thabaqot kelima
: sahabat yang menghadiri baiat aqobah kedua, thabaqoh keenam : Muhajirin yang
menyusul Nabi di Quba sebelum memasuki Madinah, thabaqoh ketujuh : sahabat
peserta perang Badar, thabaqot kedelapan : sahabat yang hijrah ke Madinah
setelah perang Badar, tahbaqot kesembilan : sahabat yang menghadiri baiat
baitur ridwan, thabaqot kesepuluh : sahabat yang hijrah setelah perjanjian
Hudaibiyah sebelum futuh Mekkah, thabaqot kesebelas : sahabat yang masuk Islam
setelah futuh Mekkah, thabaqot kedua belas : anak-anak yang melihat Nabi
Muhammad saw setelah Futuh Mekkah dan haji wada.
Kitab terbaik yang membahas sejarah,
hal-ihwal dan thabaqot sahabat adalah kitab Al-Isabah karya Al-Hafidz Ibnu
Hajar Asqolany.
Ilmu Tawarihi Ruwah adalah ilmu
untuk mengetahui para rawi hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan
hadits, mencakup keterangan tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal
wafat, guru-gurunya, kapan tanggal mendengar dari gurunya, orang-orang yang
berguru kepadanya, kota dan kampung halamannya, perantauannya, tanggal
kunjungannya ke negeri yang berbeda-beda, mendengarnya hadits dari sebagian
guru, sebelum dan sesudah ia lanjut usia dan sebagainya yang ada hubungannya
dengan masalah per haditsan.
Kitab-kitab ilmu Tawarihi Ruwah yang
tekenal diantaranya :
- At-Tarikhul-Khabir karya Imam
Bukhary. Berisi biografi 40.000 perawi hadits.
- Tarikh Nishabur karya Imam Muhammad
Bin Abdullah Al-Hakim An-Nishabury. Kitab ini merupakan kitab tarikh terbesar
yang banyak faedahnya.
- Tarikh Baghdad karya Imam Al-Khatib
Al-Baghdady. Kitab ini memuat biografi ulama-ulama sebanyak 7.831 orang.
illat (cacat tersembunyi)
Illat hadits adalah cacat
tersembunyi yang dapat menodai kesahihan suatu hadits, yaitu :
a. Hadits
bersambung (hadits muttashil) yang gugur (tidak disebutkan) sahabat yang
meriwayatkannya. Hadits seperti ini disebut hadits mursal.
b. Hadits
bersambung (hadits muttashil) yang gugur salah seorang rawinya. Hadits seperti
ini disebut hadits munqathi.
c. Adanya
sisipan yang terdapat pada matan hadits.
Kejanggalan Hadits
Kejanggalan hadits terletak pada
adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul
(dapat diterima) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih
(kuat), disebabkan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam
ke-dlabith-an rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
Klasifikasi Hadits Sahih :
Hadits sahih dibagi menjadi dua
bagian : sahih li-dzatih dan sahih li-ghairih.
Sahih li-dzatih adalah hadits sahih
yang memenuhi syarat-syarat hadits sahih diatas.
Sahih li-ghairih adalah hadits sahih
yang diantara perawinya ada yang kurang dlabith, tetapi mempunyai sanad lain
yang lebih dlabith.
B. Hadits Hasan
Hadits hasan adalah hadits yang
dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya (kurang
dlabith), bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta
kejanggalan pada matannya.
Klasifikasi hadits hasan : hasan
lidzatih dan hasan li-ghairih.
Hadits hasan li-dzatih adalah hadits
hasan yang memenuhi syarat hadits hasan diatas.
Hadits hasan li-ghairih adalah
hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak nyata keahliannya,
bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya
fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan
semakna dari sesuatu segi yang lain.
Hadits hasan derajadnya dibawah
hadits sahih.
Menurut Imam Turmudzi dan Ibnu
Taimiyah hadits hasan adalah hadits yang banyak jalan datangnya dan tidak ada
dalam sanadnya yang tertuduh dusta dan tidak pula janggal (syadz).
Dibawah hadits hasan ada yang lebih
rendah derajadnya yaitu hadits dhaif.
Menurut Imam Nawawi : Hadits dhaif
yang banyak jalan dan saling menguatkan bisa naik menjadi hadits hasan. Yaitu
hasan li-ghairih, tapi ke dhaifannya bukan karena ada rawi yang tertuduh dusta
atau fasiq. Maka dengan demikian dapat diamalkan berdasarkan kumpulannya, bukan
berdasarkan kepada satu per satunya.
C. Hadits Dhaif
Hadits dhaif adalah hadits yang
kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih atau hadits
hasan.
Berdasarkan dapat diterima atau ditolak
sebagai hujjah hadits diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a. Hadits
Maqbul : yaitu hadits yang dapat diterima
b. Hadits
Mardud : yaitu hadits yang ditolak dan tidak dapat diterima.
Hadits sahih dan hasan adalah hadits
yang maqbul.
Yang termasuk hadits mardud
(ditolak) adalah segala macam hadits dhaif
Klasifikasi hadits dhaif :
a. Dari jurusan
sanad, dibagi dua
Pertama : Cacat pada rawi, tentang
keadilan dan kedlabitannya.
Kedua : Sanadnya tidak bersambung,
karena ada rawi yang digugurkan atau tidak bertemu satu sama lain.
Pertama, cacat pada keadilan dan ke
dlabitan rawi ada 10 macam :
1. Dusta,
hadits dhaif yang karena rawinya dusta, disebut Hadits maudlu
2. Tertuduh
dusta, hadits dhaif yang rawinya tertuduh dusta disebut hadits matruk.
3. Fasik, yaitu
pelaku dosa besar, atau melakukan dosa kecil dengan terang-terangan dan sering.
4. Banyak
salah, yaitu dalam meriwayatkan haditsnya.
5. Lengah dalam
hafalan, hadits dhaif yang karena rawinya fasik, banyak salah dan lengah
disebut hadits munkar.
6. Banyak
purbasangka (waham), hadits dhaif yang karena rawinya waham disebut hadits
muallal.
7. Menyalahi
riwayat orang kepercayaan;
- Dengan penambahan suatu sisipan,
disebut hadits mudraj.
- Dengan memutarbalikkan, disebut hadits
maqlub.
- Dengan menukar-nukar rawi, disebut hadits
mudltharib.
- Dengan perubahan syakal huruf,
disebut hadits muharraf.
- Dengan perubahan titik-titik kata,
disebut hadits mushahhaf.
8. Tidak
diketahui identitasnya (jahalah), disebut hadits mubham.
9. Penganut
bidah (sekte sempalan), hadits dhaif yang rawinya penganut bidah disebut hadits
mardud.
10. Tidak baik
hafalannya, disebut hadits syadz dan mukhtalith.
Kedua : Cacat karena sanadnya ada
yang gugur :
1. Yang
digugurkan sanad pertama, disebut hadits muallaq.
2. Yang
digugurkan sanad terakhir (sahabat), disebut hadits mursal.
3. Yang
digugurkan dua orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut hadits mudlal.
4. Yang
digugurkan tidak berturut-turut, disebut hadits munqathi.
b. Dari jurusan
matan, dibagi dua :
1. Hadits
mauquf, yaitu
hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan sahabat tidak sampai
kepada Nabi, misalnya Berkata Umar ..
2. Hadits
maqthu, yaitu
hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan tabiin, misalnya, Berkata
Said Ibn Musayyab ..
Pembagian hadits berdarkan banyaknya
jalur periwayatan (sanad)
a. Hadits
Mutawatir
b. Hadsis
Masyhur
c. Hadits Ahad
- hadits azis
- hadits gharib
Hadits Mutawatir adalah hadits yang
diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak mungkin bahwa mereka itu telah
sepakat untuk berdusta. Syarat hadits mutawatir :
1. Hadits yang
diriwayatkan berdasarkan pendengaran atau penglihatan sendiri, bukan dari hasil
pemikiran, rangkuman atau dugaan.
2. Jumlah
rawi-rawinya harus mencapai bilangan yang mampu mencapai ilmudl-dlarury
(meyakinkan).
3. Ada
keseimbangan antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi
pada lapisan berikutnya. Misalnya ada hadits yang diriwayatkan oleh 10 orang
sahabat kemudian diriwayatkan oleh 5 orang tabiin dan seterusnya diriwayatkan
oleh 3 orang tabiit-tabiin maka hadits tersebut tidak termasuk hadits
mutawatir, karena jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara lapisan pertama
dengan lapisan kedua dan ketiga.
Kitab yang menghimpun segala hadits
mutawatir yang terkenal adalah kitab Al-Azharul Mutanatsirah fil Akhbari
Mutawatirah, karya Imam As Suyuthi (911 H).
Hadits mutawatir memberi faedah
ilmu-dlarury, yakni meyakinkan dan harus menerimanya bulat-bulat sesuatu yang
diberitakan oleh hadits mutawatir karena membawa kepada keyakinan yang qothi
(pasti). Rawi-rawi hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang
keadilan dan kedlabithannya.
Hadits Masyhur adalah hadits yang terdiri
lapisan perawi yang pertama atau lapisan kedua, dari orang seorang, atau
beberapa orang saja. Sesudah itu barulah tersebar luas, dinukilkan oleh
segolongan orang yang tak dapat disangka bahwa mereka sepakat untuk berdusta.
Jumhur ulama hadits mensyaratkan minimal 3 orang perawi.
Ulama-ulama mazhab hanafi
men-takhsis-kan (meng khusus kan) ayat Al-Quran yang umum dengan hadits masyhur
ini dan menambah hukum-hukum yang belum terdapat dalam Al-Quran. Hadits ahad
yang belum mencapai derajad hadits masyhur tidak dapat digunakan untuk fungsi
ini.
Imam Malik menjadikan hadits ahad
pen takh sis Al-Quran dengan syarat jika dikuatkan oleh amal penduduk Madinah
atau oleh Qiyas.
Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin
Hanbal menggunakan hadits ahad untuk mentakhsis ayat Al-Quran.
Hadits Ahad adalah segala hadits
yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih tetapi tidak
cukup terdapat sebab-sebab yang menjadikannya masyhur.
Hadits Azis adalah hadits yang
rentetan perawinya terdiri dari dua-dua orang atau pada suatu tingkat terdiri
dari dua-dua orang saja.
Hadits Garib adalah hadits yang
dalam sanadnya ada seorang rawi yang menyendiri, di lapisan mana saja
penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Berkata Imam Ahmad Bin Hanbal :
Jangan kamu mencatat hadits hadits gharib, lantaran hadits-hadits gharib itu
mungkar-mungkar dan pada umumnya berasal dari orang-orang lemah.
Pembagian Hadits yang bersambung
sanadnya :
a. Hadits
Musnad, yaitu tiap-tiap hadits marfu yang sanadnya bersambung
b. Hadits
Muttashil/Maushul, yaitu hadits yang bersambung sanadnya, ada yang marfu,
mauquf atau maqthu
5.2. Berhujah dengan hadits / Mengamalkan Hadits
A. Hadits Mutawatir
Mutlak harus diterima bulat-bulat,
karena memberikan keyakinan secara ilmul-dlarury.
B. Hadits Masyhur
Mutlak dapat dipakai hujjah atau
diamalkan, dapat dijadikan pen-takhsish (meng khususkan) ayat Al-Quran yang
umum (Am)
C. Hadits Ahad
Apabila sahih mempunyai sifat dapat
diterima yang tinngi, apabila hasan mempunyai sifat dapat diterima yang
menengah / rendah, dapat diamalkan dalam urusan-urusan amal bukan dalam urusan
itiqad.
Imam Abu Hanifah menolak hadits ahad
untuk men takhsis dan menasakh ayat Al-Quran.
Imam Malik menjadikan hadits ahad
untuk men takhsish dan menasakh Al-Quran jika dikuatkan oleh amalan penduduk Madinah
atau oleh qiyas.
Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin
Hanbal menjadikan semua hadits ahad untuk men takhsish Al-Quran.
D. Hadits Dhaif
Dalam hal berhujah dengan /
mengamalkan hadits dhaif, terbagi dalam 3 pendapat :
a. Melarang
secara mutlak , itu pendapat Imam Bukhary dan Abu Bakar Ibnu Araby.
b. Membolehkan,
yaitu bila dhaifnya tidak terlalu dan khusus untuk menerangkan fadlilah amal,
yang isinya mendorong berbuat baik, mencegah perbuatan buruk, cerita-cerita dan
perkara-perkara mubah. Bukan untuk menetapkan masalah hukum-hukum syariat
seperti halal-haram, akidah. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad Bin Hanbal,
Abdurrahman Bin Mahdy, Abdullah Ibn Mubarak, mereka berkata :
Apabila kami meriwayatkan hadits
tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami
kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala
dan siksa, kami permudah sanadnya dan kami perlunak rawi-rawinya
Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany membolehkan berhujah dengan hadits
dhaif untuk keutamaan amal, dengan memberikan 3 syarat :
1. Hadits Dhaif
yang tidak terlalu. Dhaif yang karena rawinya pendusta, tertuduh dusta dan
banyak salah tidak dapat dijadikan hujjah.
2. Dasar amal
yang ditunjuk oleh hadits tersebut masih selaras dengan dasar yang dibenarkan
oleh hadits yang lebih sahih.
3. Dalam
mengamalkannya tidak meng itiqadkan bahwa hadits tersebut benar benar dari
Nabi, tetapi tujuannya mengamalkan hanya semata-mata untuk ikhtiyat
(hati-hati).
E. Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur
perawi pada tingkatan sahabat. Jadi perawi tabiin tidak menyebutkan nama
sahabat yang meriwayatkan hadits kepadanya.
Bila perawi yang gugur (tidak
disebutkan) sebelum sahabat , baik tabiin atau selainnya, bila satu orang yang
gugur dinamakan hadits munqathi, bila dua orang yang gugur disebut hadits
mudlal.
Berhujah dengan hadits Mursal,
terdapat perbedaan pendapat, sebagian menolak dan menganggapnya sebagai hadits
dhaif, sebagian menerima dan menganggapnya sebagai hadits musnad, tetapi jumhur
ulama hadits menerima hadits mursal tapi dengan syarat;
Imam Abu Hanifah menerima hadits
mursal, bila yang meng irsal kan itu sahabat atau tabiin. Irsal yang sesudah
tabiit-tabiin ditolak.
Imam Malik menerima segala hadits
mursal dari orang yang kepercayaan (tsiqoh).
Imam Syafiii hanya menerima hadits
mursal dari periwayatan Said Bin Musayyab dan Hasan Al Basri.
Imam Ahmad Bin Hanbal lebih
mengutamakan fatwa sahabat dari pada menerima hadits mursal.
5.3. Bagan Jenis
/ Derajad Hadits
Bagan
Jenis /
Derajad Hadits
I. Mutawatir
II. Masyhur III. Ahad
Ada yang
Maqbul ada yang Mardud
|
Maqbul
Mardud
1. Sahih 2.
Hasan 3. Dhaif *) 5. Masyhur 3. Dhaif 4. Maudlu
6. Azis
a. sahih b.
sahih a. hasan b. hasan 7. Gharib
lidzatih
lighairihih lidzatih lighairihih 8. Muttabi
9. Syahid
10. Marfu
11. Musnad
12.
Maushul/Muttashil
a. Mutawatir
b. Mutawatir c. Mutawatir 13. Mauquf
Lafdhy amali
manawy 14. Mahfudh
15. Syadz
16. Maruf
17.Munkar
18. Muhkam
19. Mutasyabih
*) Dengan
catatan :
- Dhoif yang
tidak terlalu
- Bukan masalah
hukum
- Bukan
masalah akidah / halal-haram
- Menerangkan
Fadhilah amal
- Janji
surga dan ancaman siksa neraka
- Cerita
cerita atau masalah yang mubah
|
20.
Mukhtalif
21. Nasikh
22. Mansukh
23. Rajih
24. Marjuh
25. Maqthu
26. Mursal
27. Munqathi
28.Mudlal/Musykil
29. Muallaq
30.Mudallas
31. Muallal
32. Mudltharab
33. Matruk
34. Mudraj
35. Maqlub
36. Musalsal
37. Muanan
38. Mushahaf
39. Muannan
40. Mudabbaj 44. Nazil.
41. Sabiq 45. Mubham
42. Lahiq 46. Muharraf
43. Ali 47. Qudsy
5.4. Pertentangan
Hadits
A. Pertentangan
Hadits dengan Al-Quran
Sebagian ulama menolak hadits yang
bertentangan dengan Al-Quran :
- Ada sebuah atsar menyebutkan : Abu
Bakar Shiddiq ra. mengumpulkan para sahabat dan menyuruh mereka menolak hadits
yang berlawanan dengan Al-Quran.
- Umar Bin Khattab ra. pernah menolak
hadits riwayat Fatimah Binty Qeys yang menerangkan, bahwa istri yang ditalaq
habis, tidak berhak diberikan nafkah dan tempat lagi, karena bertentangan
dengan ayat Ath Thalaq dalam Al-Quran, dan Umar ra berkata : tidaklah saya mau
meninggalkan kitabullah lantaran perkataan seorang wanita yang boleh jadi benar
boleh jadi salah.
- Diriwayatkan oleh Imam Bukhory,
Muslim, Turmudzy dan An Nasay dari Masruq, ujarnya : Aku berkata kepada Aisyah
Ummul Mukminin, apakah Muhammad ada melihat tuhannya ? Aisyah menjawab : Bangun
bulu romaku mendengar perkataanmu, dimana engkau dari tiga perkara, barang
siapa menceritakan yang tiga itu pasti berdusta :
a. Barang siapa
menceritakan bahwa Muhammad melihat tuhannya, adalah dusta, karena firman Allah
:
Tiada dapat dilihat Dia oleh segala
pandangan dan Dia melihat segala pandangan, dan Dia itu Maha lembut lagi Maha
mengetahui (QS Al Anam
: 103).
b. Barang siapa
menceritakan, bahwa dia mengetahui apa yang terjadi esok hari, berdusta, Allah
berfirman :
Tak ada yang seorangpun dapat
mengetahui apa yang ia kerjakan esok hari (QS Lukman : 31).
c. Barang siapa
menceritakan, bahwa Muhammad ada menyembunyikan sesuatu wahyu, maka ia
berdusta, karena Allah berfirman :
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang
diturunkan pada engkau dari Tuhan engkau, Jika engkau tidak menyampaikan
berarti engkan tidak menyampaikan risalah Allah, dan Allah memelihara engkau
dari manusia bahwasanya Allah tidak menunjuki kaum yang kafir (QS Al Maidah : 67).
B. Pertentangan antar hadits.
Ulama yang pertama kali membahas
tentang hadits yang saling bertentangan adalah Imam Syafii dalam kitabnya
mukhtaliful hadits. Apabila kita mendapati dua buah hadits makbul yang saling
bertentangan (menurut lahirnya), maka :
- Diusahakan untuk
mengumpulkannya (mengkompromikan).
- Kalau usaha ini gagal,
hendaklah dicari mana diantara hadits yang datang lebih dahulu dan mana
yang datang kemudian. Hadits yang datang lebih dahulu hendaklah dinasakh,
disebut hadits mansukh dan yang menasakhnya disebut hadits nasikh.
Untuk mengetahui mana hadits yang
nasikh dan mana hadits mansukh nya, dapat diketahui dari beberapa jalan, antara
lain :
a. Penjelasan
dari syari sendiri, contoh :
Konon aku pernah melarangmu
menziarahi kubur. Kemudian ziarahlah. Dan konon aku pernah melarangmakandaging
binatang kurban selama lebih tiga hari, kemudian makanlah sesukamu (HR Muslim).
b. Penjelasan
dari Sahabat
Jabir berkata : yang terakhir dari
dua kejadian yang berasal dari Rasulullah saw ialah meninggalkan wudlu bekas
tersentuh api.
c. Diketahui
tarikh keluarnya hadits :
Hadits riwayat Syaddad :
Batallah puasa orang yang membekam
dan orang yang dibekam (HR Abu Dawud).
Menurut Imam Syafiii telah di nasakh
oleh hadits Ibnu Abbas ra :
Bahwa Rasulullah saw sedang berbekam,
padahal beliau sedang ihram dan berpuasa.(HR Muslim).
Disebabkan hadits Syaddad tersebut
disabdakan oleh Nabi pada tahun 8 H, yakni saat-saat dikuasainya kembali kota
Mekkah, sedang hadits Ibnu Abbas disabdakan pada tahun 10 H, yakni pada haji Wada.
Imam Syarajuddin Al-bulqiny menyusun
ilmu cabang dari ilmu hadits mengenai awal atau akhirnya dikeluarkan suatu
matan hadits dalam kitab yang diberi nama Mahasinul-ishthilah.
- Kalau usaha mencari nasikhnya
tidak pula berhasil, beralih kepada penelitian mana hadits yang lebih
kuat, baik sanad maupun matannya, untuk ditarjihkan. Hadits yang kuat
disebut hadits rajih, sedang yang ditarjihkan disebut hadits
marjuh.
Contoh : hadits riwayat Ibnu Abbas
ra :
Bahwa Rasulullah saw menikahi
Maimunah Binti Al Harits pada waktu beliau ihram.
Hadits tersebut ditarjihkan dengan
hadits yang diriwayatkan oleh Abi Rafi yang mengabarkan :
Bahwa Rasulullah saw menikahi
Maimunah Binti Al-Haris pada waktu beliau tahallul.
Hadits Abi Rafi lebih rajih daripada
hadits Ibnu Abbas karena Abi Rafi sendiri bersama-sama pergi dengan Rasulullah
saw dan Maimunah disaat itu dan kebanyakan sahabat meriwayatkan seperti hadits
Abi Rafi.
Mentarjihkan hadits itu, dapat
ditinjau dari beberapa jurusan :
1. Jurusan
sanad, misalnya :
a. Hadits yang
rawinya banyak, merajikan hadits yang rawinya sedikit.
b. Hadits yang
diriwayatkan oleh rawi besar merajihkan hadits yang diriwayatkan oleh rawi
kecil.
c. Hadits yang
rawinnya tsiqah merajikan hadits yang rawinya kurang tsiqah.
2. Jurusan
matan, misalnya :
a. Hadits yang
mempunyai arti hakikat merajihkan hadits yang mempunyai arti majazi.
b. Hadits yang
mempunyai petunjuk maksud dari dua segi merajikan hadits yang mempunyai
petunjuk maksud dari satu segi.
3. Jurusan
hasil penunjukan (madlul), misalnya :
Madlul yang positip merajihkan yang
negatip.
4. Jurusan dari
luar, misalnya :
Dalil yang qauliah (berdasarkan
perkataan), merajikan dalil yang filiyah (berdasarkan perbuatan).
- Kalau usaha inipun gagal, kedua
hadits tersebut hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya.
Hadits yang di tawaqquf kan ini disebut hadits mutawaqqaf-fihi .
Hadits yang dibekukan ini menurut sebagian ulama dapat diamalkan salah
satu, dan ada pula yang berpendapat bisa diamalkan berganti-ganti dalam
waktu yang berbeda.
Hadits yang
mengandung pertentangan disebut hadits mukhtalif.
5.5. Hadits Maudlu (palsu)
Hadits
maudlu adalah hadits yang diciptakan serta dibuat oleh seseorang (pendusta)
yang diciptakan itu disandarkan kepada Rasulullah saw secara palsu dan dusta,
baik hal itu disengaja maupun tidak.
Seorang rawi
yang diketahui pernah berdusta dengan menyandarkan riwayatnya kepada Rasulullah
saw walaupun sekali dalam seumur hidup, riwayatnya tidak dapat diterima,
walaupun telah ber taubat sekalipun.
Ciri Ciri
Hadits Palsu :
1. Dari
pengakuannya sendiri, seperti pengakuan seorang guru tashawuf yang berkata : tidak
ada seorangpun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi kami melihat
manusia sama meninggalkan Al-Quran, maka kami ciptakan untuk mereka hadits ini
(tentang keutamaan ayat Al-Quran), agar mereka menaruh perhatian untuk
mencintai Al-Quran.
2. Petunjuk
yang memperkuat adanya kedustaan, misalnya seorang rawi mengaku menerima hadits
dari seorang guru, padahal ia tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau
menerima dari seorang guru yang telah meninggal dunia sebelum ia dilahrikan.
3. Petunjuk
dari tingkah lakunya, seperti yang pernah dilakukan oleh Ghiyat bin Ibrahim
dikala berkunjung ke istana Khalifah Al-Mahdi yang sedang bermain dengan burung
merpati, katanya :
Tidak syah perlombaan selain :
mengadu anak panah, mengadu kuda atau mengadu burung.
Perkataan au janahin (atau mengadu
burung) adalah perkataan Ghiyats sendiri, yang spontan ia tambahkan di akhir
hadits yang ia ucapkan, dengan maksud membesarkan hati Khalifah yang sedang
mengadu burung merpati.
4. Dari segi
matan, maknanya bertentangan dengan Al-Quran, hadits mutawatir, Ijma dan logika
sehat
5. Menukil kata
mutiara (adagium) orang orang yang dipandang alim yang kemudian disandarkan itu
adalah berasal dari Rasulullah saw.
Motif-Motif
yang Mendorong Membuat Hadits Palsu :
1. Untuk
memperkuat partainya, Syiah Rafidah dikenal paling banyak membuat hadits palsu.
2. Untuk
merusak / mengeruhkan agama Islam, seperti Hasan Bin Saba dan orang
Persia-Majusi yang benci dan dengki terhadap hegemony Arab-Islam, tokoh-tokoh
zindiq yang ber akidah sesat.
3. Untuk
nasihat dan menarik minat hati manusia, contohnya hadits yang berlebihan dalam
menerangkan pahala amal.
4. Fanatik
kesukuan, kultus imam, individu, dsb
5. Mempertahankan
mazhab fikih ikhtilaf.
6. Mencari muka
dihadapan penguasa, contohnya hadits Ghiyats diatas.
7. Kejahilan
dalam ilmu agama disertai kemauan keras untuk berbuat kebaikan.
VI. Kutubus
Sittah (enam kitab induk) dan pengarangnya
Disebut
kitab induk karena inilah kitab-kitab hadits yang oleh jumhur ulama dinilai
paling tinggi mutunya diantara semua kitab hadits yang ada, disusun urut mulai
yang paling tinggi mutunya terus kebawah :
1. Sahih
Bukhary (Al Jamiush Sahih Al Musnadu Min Haditsi Rasul saw).
Penulisnya
adalah Imam Bukhary (194 H 252 H / 810 M 870 M), kelahiran Bukhara di
Uzbekistan, kakeknya seorang Persia beragama Majusi. Sejak umur 10 tahun sudah
tertarik mendalami hadits, berkelana hampir ke seluruh kota kota besar Wilayah
Daulah Islam untuk mencari hadits. Mempunyai hafalan yang luar biasa, beliau
hafal sampai ratusan ribu hadits beserta semua rawi-rawinya.
Kitab Sahih
Bukhory disusun dalam waktu 16 tahun, terdiri dari 2.602 yang tanpa
diulang-ulang. Setiap menuliskan hadits dalam kitab sahihnya, beliau melakukan
sholat sunnah 2 rokaat.
Kitab Syarah (penjelasan secara
panjang lebar) Sahih Bukhory yang terbaik adalah Fathul Bary karya Al Hafidz
Ibnu Hajar Asqolany.
Jumhur ulama
sepakat menilai kitab Sahih Bukhory ini paling tinggi tingkat ke sahihan dan
mutunya.
2. Sahih Muslim
Penulisnya
adalah Imam Abul Husain Muslim Bin Hajaj Al Qusyairy (204 H-261 H / 820 M-875M),
murid imam Bukhary. Sama seperti gurunya beliau berkelana hampir ke seluruh
kota kota besar dalam mencari hadits. Walaupun tingkat kesahihan dan mutu
haditsnya masih dibawah Sahih Bukhary, tetapi sistematika penulisannya lebih
baik bila dibandingkan dengan kitab Sahih Bukhary, karena lebih mudah mencari
hadits didalamnya. Kitab Sahih Muslim berisi sekitar 4.000 hadits yang tidak
diulang-ulang.
Kitab syarah
nya yang terbaik adalah Minhajul Muhadditsin, karya Imam Nawawi.
3. Sunan An
Nasay (Al Mujtaba Minas Sunan / Sunan-sunan pilihan)
Penulisnya
adalah Imam Abu Abdir Rahman Ahmad Bin Syuaib bin Bahr (215 H-303 H / 839 M-915
M). Mulanya kitab sunan ini diserahkan kepada seorang Amir di Ramlah, Amir itu
bertanya , Apakah isi sunan ini sahih seluruhnya ?, Imam An Nasay menjawab :
Isinya ada yang sahih, ada yang hasan, ada yang hampir serupa dengan keduanya.
Kemudian sang Amier berkata lagi Pisahkanlah yang sahih saja. Sesudah itu An
Nasay pun menyaring sunannya dan menyalin yang sahih saja dalam sebuah kitab
yang dinamai Al Mujtaba (pilihan).
4. Sunan Abu Dawud
Penulisnya
adalah Imam Abu Dawud Sulaiman Bin Al-Asyats Bin Ishaq As-Sijistany (202 H-275
H / 817 M- 889 M). Beliau mengaku mendengar hadits sampai 500.000 buah,
kemudian beliau seleksi dan ditulis dalam kitab sunan nya sebanyak 4.800 buah
dan beliau berkata : Saya tidak meletakkan sebuah hadits yang telah
disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Saya jelaskan dalam kitab
tersebut nilainya dengan sahih, semi sahih, mendekati sahih, dan jikadalam
kitab saya tersebut terdapat hadits yang sangat lemah maka saya jelaskan.
Adapun yang tidak saya beri penjelasan sedikitpun, maka hadits tersebut
bernilai sahih dan sebagian dari hadits yang sahih ini ada yang lebih sahih
daripada yang lain.
5. Sunan At Turmudzy
Penulisnya
adalah Imam Abu Isa Muhammad Bin Isa Bin Surah (200 H-279 H / 824 M- 892 M),
termasuk murid Imam Bukhary. Beliau berkata : Aku tidak memasukkan ke dalam
kitab ini terkecuali hadits yang sekurang-kurangnya telah diamalkan oleh
sebagian fukaha. Beliau menulis hadits dengan menerangkan yang sahih dan yang
tercacat serta sebab-sebabnya sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana
yang diamalkan dan mana-mana yang ditinggalkan. Kitab Sunan Turmudzy isinya
jarang yang berulang-ulang.
6. Sunan Ibnu Majah
Penulisnya adalah Imam Abdu Abdillah
Bin Yazid Ibnu Majah (207 H- 273H / 824 M- 887 M), berasal dari kota Qazwin di
Iran. Dalam kitab sunan Ibnu Majah ini terdapat beberapa hadits dhaif, gharib dan
ada yang munkar. Al Hafidz Al-Muzy menilai kitab Al Muwaththa karya Imam Malik
lebih tinggi mutunya dari Sunan Ibnu Majah, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat
bahwa kitab induk yang ke enam adalah Sunan Ad Darimy, Ahmad Muhammad Syakir
berpendapat Al Muntaqa karya Ibnu Jarud lebih pantas menjadi yang ke enam.
Kitab-Kitab Hadits yang lain yang penting :
- Sunan Ad
Darimy
- Al Muntaqa
karya Ibnu Jarud
- Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal,
aslinya bernilai tinggi, tetapi setelah Imam Ahmad wafat, anaknya Abdullah dan
muridnya Abu Bakr Al Qathiy menambahkan beberapa hadits lagi, hingga didalamnya
tersisip banyak hadits dhaif dan ada empat buah hadits maudlu.
- Al
Muwaththa, karya Imam Malik. Mengandung hadits mursal dan munqathy yang
dipandang sahih untuk diamalkan oleh Imam Malik.
- Sahih Ibnu
Khuzaimah, mengumpulkan hadits sahih yang tidak dimuat dalam sahih Bukhary dan
Sahih Muslim.
- Mustadrak
Imam Hakim
- Dan masih
ada beberapa kitab-kitab hadis yang lainnya.
VII. Ilmu-Ilmu
Cabang Dari Ilmu Hadits
Ilmu-ilmu
pendukung lainnya yang merupakan cabang dari ilmu hadits yang perlu dipelajari
juga untuk memahami hadits adalah :
1. Ilmu Rijalil Hadits
Ilmu untuk mengetahui sejarah dan
hal-ihwal sahabat, tabiin dan tabiit tabiin.
2. Ilmu Tawarikhir Ruwah
Ilmu tentang hal-ihwal para rawi,
tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, tanggap kapan mendengar dari
gurunya, orang yang berguru kepadanya, kota kampung halamannya, perantauannya,
keadaan masa tuanya dan semua yang berkaitan dengan per haditsan.
Kitab Tawarikhir Ruwah yang terkenal
At-Tarikhul-Kabir karya Imam Bukhary dan Tarikh Baghdad karya Imam Al Khatib
Baghdady.
3. Ilmu Thabaqotur Ruwah
Ilmu yang pembahasannya diarahkan
kepada kelompok orang-orang (rawi) yang berserikat dalam suatu alat pengikat yang
sama.
Kitab bidang ilmu ini yang terkenal
diantaranya Thabaqatur Ruwah karya Al Hafidz Abu Amr Khalifah Bin Khayyath Asy
Syaibany.
4. Ilmu Jarh wa Tadil
Ilmu yang membahas hal-ihwal
(keadilan, ke-tsiqoh-an) para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
Kitab bidang ilmu ini yang terkenal
diantaranya Al Jarhu wat Tadil karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy.
5. Ilmu Gharibil Hadits
Ilmu untuk mengetahui lafadh-lafadh
dalam matan hadits yang sulit lagi sukar dipahami, karena jarang sekali
digunakan.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini
diantaranya Al-Faiqu fi Gharibil Hadits karya Imam Zamakhsyary.
6. Ilmu Asbabul Wurudil Hadits
Ilmu yang menerangkan sebab sebab
dan latar belakang lahirnya hadits.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini
diantaranya Al Bayan wat Tarif fi asbabi Wurudil Haditsisy-Syarif karya Ibnu
Hamzah Al Husainy.
7. Ilmu Tawarikhul Mutun
Ilmu yang menitik beratkan kapan dan
dimana atau di waktu apa hadits itu diucapkan atau peebuatan itu dilakukan
Rasulullah saw.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini
diantaranya Mahasinul Ishthilah karya Imam Sirajuddin Abu Hafsh Amar Bin Salar
Al-Bulqiny.
8. Ilmu Nasikh Mansukh Hadits
Ilmu yang membahas hadits yang
menghapus (nasikh) hadits lain yang dihapus (mansukh)
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini
diantaranya Nasikhul Hadits Wa Mansukhuhu karya Al Hafidz Abu bakar Ahmad Bin
Muhammad Al Atsram.
9. Ilmu Mukhtaliful Hadits
Ilmu yang membahas hadits hadits
yang menurut lahirnya saling bertentangan, untuk dikompromikan, sebagaimana
halnya membahas hadits hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk
menghilangkan kesukarannya dan menjelaskan hakikat-hakikatnya.
Kitab yang terkenal dalam bidang ini
diantaranya Musykilul Hadits wa Bayanuhu karya Abu Bakr Muhammad Bin Al Hasan
(Ibnu Furak) Al Anshary Al Asbihany.
10. Ilmu Ilalil Hadits.
Ilmu yang membahas sebab-sebab yang
samar lagi tersembunyi dari segi membuat kecacatan suatu hadits. Seperti
me-muttashil-kan (menganggap bersambung) sanad hadits yang sebenarnya sanad itu
munqathy (terputus), merafakan (mengangkat sampai kepada nabi) berita yang
mauquf (yang berakhir kepada sahabat). Menyisipkan suatu hadits pada hadits
yang lain, meruwetkan sanad dengan matannya dan sebagainya.
Kitab yang terkenal dalam bidang ini
diantaranya Ilalul Hadits karya Imam Ahmad Bin Hanbal dan AL-Ilal Waridah fil
Ahaditsin Nabawiyah karya Al Hafidz Ali Bin Umar Ad Daraquthny.
Reference :
1. Ikhtishar
Mushthalahul Hadits, author : Drs. Fatchur Rahman, published by : PT. Almaarif
Bandung.
2. Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, author : Teungku Moh. Hasbi Ash Shiddieqy, published by
: PT. Pustaka Rizki Putra Semarang.
- I. Pengertian Hadits
Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat,
keadaan dan himmah nya
Taqrir adalah perbuatan atau keadaan sahabat yang
diketahui Rosulullah dan beliau mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang
menunjukkan perkenannya atau beliau tidak menunjukkan pengingkarannya.
Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir,
contohnya hadits riwayat Ibnu Abbas :
Dikala Rosulullah saw berpuasa pada hari Asura dan
memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka
berkata : Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh Yahudi dan
Nasrani, Rasulullah menyahuti : Tahun yang akan datang, Insya Allah aku akan
berpuasa tanggal sembilan. (HR Muslim dan Abu Dawud)
tetapi Rasulullah tidak sempat merealisasikannya,
disebabkan beliau telah wafat.
Menurut Imam Syafii bahwa menjalankan himmah itu
termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani mengatakan tidak termasuk sunnah karena
belum dilaksanakan oleh Rasulullah.
Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap
khabar adalah hadits.
Atsar adalah segala sesuatu yang lebih umum dari
hadits dan khabar, yaitu termasuk perkataan tabiin, tabiit-tabiin dan para
ulama salaf.
Biasanya perkataan yang disandarkan atau berasal dari
selain Nabi disebut atsar.
Sunnah adalah Jalan hidup atau kebiasaan yang ditempuh
dalam berbuat dan beritiqad (berkeyakinan). Dikatakan sunnah Nabi jika itu
disyariatkan, ditempuh dan diridloi oleh Nabi.
Hadits Qudsi adalah hadits yang mengandung kalimat
langsung perkataan Allah, cirinya dimulai dengan Allah berkata
Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Quran :
a. Semua lafad ayat-ayat Al-Quran adalah mukjizat dan
mutawatir, sedang Hadits Qudsi tidak.
b. Perlakuan terhadap Al-Quran -dilarang menyentuhnya
bagi yang berhadas kecil, dilarang membacanya bagi yang ber hadas besar- tidak
berlaku bagi Hadits Qudsi.
c. Membaca Al-Quran setiap hurufnya mendatangkan
pahala, sedang membaca Hadits Qudsi tidak.
d. Al-Quran semua susunan kata-katanya redaksinya
berasal dari Allah, sedangkan Hadits Qudsi redaksi kata-katanya terserah
Rasulullah.
II. Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam
Sumber Hukum Islam yang pertama adalah Al-Quran dan
yang kedua adalah Hadits.
Sebab-sebab Al-Quran lebih tinggi derajadnya dari
hadits :
1. Al-Quran kita terima dari Nabi dengan jalan Qothi
(pasti) karena didengar dan dihafal oleh sejumlah sahabat dan ditulis oleh para
penulis wahyu. Sedangkan hadits tidak semuanya dihafal atau dituliskan dan
tranmisinya berupa dzan (dugaan kuat).
2. Para sahabat mengumpulkan Al-Quran dalam satu
mushaf dan mentranmisikan materinya kepada umat dalam keadaan aslinya
(redaksinya) sehuruf pun tidak berubah, tidak bertambah dan tidak berkurang dan
mushaf itupun terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa. Sedangkan materi
hadits dapat diriwayatkan dengan maknanya saja.
3. Semua ayat Al-Quran Mutawatir. Sedangkan hadits
kebanyakan tidak mutawatir.
4. Al-Quran merupakan pokok yang memuat prinsip dasar
dan hadits adalah penjelas dari yang pokok atau hadits adalah cabang dari yang
pokok. Bila hadits yang cabang mendatangkan yang bertentangan dengan Al-Quran
yang pokok maka ditolak.
5. Ijma Sahabat, yaitu Khalifah Abu Bakar, Umar bila
akan memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada keputusan hukumnya pada masa
Rasulullah maka mereka merujuk ke Al-Quran, bila tidak ditemukan di Al-Quran
maka Khalifah mengumpulkan sahabat-sahabat besar untuk ditanyakan apakah ada
yang pernah mendengar Hadits Rosulullah, mengenai masalah tersebut, bila ada
yang menyebutkan haditsnya maka Khalifah memutuskan hukum berdasarkan hadits
tersebut. Metode tersebut juga dilakukan oleh Usman dan Ali dan tidak ada yang
menyelisihi mengenai hal ini.
6. Dalam hadits sendiri menunjukkan bahwa Al-Quran
lebih tinggi kedudukannya, yaitu hadits Muadz Bin Jabal ra yang diriwayatkan
oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, yang menjelaskan urut urutan sumber hukum islam
yaitu : Al-Quran, Hadits dan ajtahidu royii ijtihad dengan akal
Sumber hukum Islam yang ketiga adalah Ijma (konsensus)
ulil-amri (pemegang urusan yaitu umaro dan ulama) kemudian yang keempat adalah
dalil akal.
Dalil akal ini ada sekitar 40 tools yang dibahas
secara terperinci dalam ilmu ushul fikih, yang terkenal adalah :
1. Qiyas (analogi)
2. Ihtisan (keluar dari qiyas umum karena ada sebab
yang lebih kuat)
3. Maslahah Mursalah (keluar dari qiyas umum dengan
pertimbangan kemaslahatan)
4. Saddudz Dzariah (menutup jalan yang menuju
kemudhorotan)
5. Ar Rajuu ilal manfaati wal madharrati (mempertimbangkan
kemanfaatan dan kemudhorotan)
6. Istishab (hukum yang diyakini menetap sebelumnya
tidak dapat dirubah oleh yang masih meragukan)
7. Urf (kebiasaan yang berlaku pada suatu kaum dapat
menjadi hukum).
dan lain lain sampai sekitar 40 macam.
Fungsi Hadits terhadap Al-Quran :
1. Memperkuat hukum yang ada di Al-Quran.
2. Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam
dalam Al-Quran.
3. Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Quran.
4. Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang
umum dari Al-Quran.
5. Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Quran.
6. Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Quran.
Untuk memahami dengan baik tentang hal ini diperlukan
penguasaan ilmu-ilmu Al-Quran (ulumul Quran) dan menguasai nahwu-sharaf bahasa
Arab serta menguasai kaidah-kaidah yang mengatur kapan suatu hadits dapat
mentakhsish atau me nasakh Al-Quran. Kemampuan ini harus dimiliki oleh seorang
mujtahid.
III. Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits
A. Periode Pertama (Jaman Rosul)
- Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung
dengan Nabi, sehingga setiap permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung
kepada Nabi.
- Para sahabat lebih concern dengan menghapal dan
mempelajari Al-Quran
- Secara umum Rasulullah saw melarang menuliskan
hadits karena takut tercampur baur dengan ayat Al-Quran karena wahyu sedang /
masih diturunkan.
- Secara umum sahabat masih banyak yang buta huruf
sehingga tidak menuliskan hadits, mereka meriwayatkan hadits mengandalkan
hafalan secara lisan.
- Sebagian kecil sahabat yang pandai baca tulis-
menuliskan hadits seperti : Abdullah Bin Amr Bin Ash yang mempunyai catatan
hadits dan dikenal sebagai Shahifah Ash Shadiqah juga Jabir Bin Abdullah Al
Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai Shahifah Jabir
- Pada event tertentu orang arab badui ingin fatwa
Nabi dituliskan, maka Nabi meluluskan permintaannya untuk menuliskan hadits
untuknya.
- Para sahabat masih disibukkan dengan peperangan
penaklukan kabilah-kabilah di seluruh jazirah Arab.
- Para sahabat yang belum paham tentang suatu hukum
bisa saling bertanya kepada yang lebih tahu dan saling mempercayai
penuturannya.
B. Periode Kedua (Masa Khulafaur Rasyidin)
- Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena
ikut serta dalam jihad penaklukan ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia.
- Pada daerah taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah
Umar menekankan agar mengajarkan Al-Quran terlebih dahulu kepada mereka.
- Khalifah Abu Bakar meminta kesaksian minimal satu
orang bila ada yang meriwayatkan hadits kepadanya.
- Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang
meriwayatkan hadits
- Khalifah Umar melarang sahabat besar keluar dari
kota Madinah dan melarang memperbanyak periwayatan hadits.
- Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar
kota Madinah tersebar ke Ibukota daerah taklukkan untuk mengajarkan agama.
C. Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabiin
Besar)
- Para sahabat besar telah terpencar kelur dari
Madinah.
- Jabir pergi ke Syam menanyakan hadits kepada sahabat
Abdullah Bin Unais Al Anshary.
- Abu Ayyub Al Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat
Utbah Bin Amir untuk menanyakan hadits.
- Masa ini sahabat besar tidak lagi membatasi diri
dalam periwayatan hadits, yang banyak meriwayatkan hadits antara lain :
a. Abu Hurairah (5347 hadits)
b. Abdullah Bin Umar (2360 hadits)
c. Anas Bin Malik (2236 hadits)
d. Aisyah, Ummul Mukminin (2210 hadits)
e. Abdullah Bin Abbas (1660 hadits)
f. Jabir Bin Abdullah (1540 hadits)
g. Abu Said Al Kudri (1170 hadits)
h. Ibnu Masud
i. Abdullah Bin Amr Bin Ash
- Pada waktu pemerintahan Khalifah Ali, terjadi
pemberontakan oleh Muawiyah Bin Abu Sofyan, setelah peristiwa tahkim
(arbitrase) muncul kelompok (sekte) kawarij yang memusuhi Ali dan Muawiyah.
Setelah terbunuhnya Khalifah Ali, muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan
keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan
Bani Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan hadits palsu yang bertujuan
mendukung masing-masing kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat hadits
palsu adalah Syiah Rafidah.
D. Periode Ke-empat (Masa Pembukuan Hadits)
- Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani
Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang
yang adil dan wara bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin
yang ke-5, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :
a. Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena
belum dibukukan dengan baik.
b. Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu yang
sudah mulai banyak beredar.
c. Al-Quran sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga
tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
d. Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang
belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi,
dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat dalam peperangan-peperangan
tersebut.
- Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur
Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan
hadits yang ada padanya dan pada tabiin wanita Amrah Binti Abdur Rahman Bin
Saad Bin Zurarah Bin Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin.
Khalifah Umar Bin Abdul Azis menulis instruksi kepada
Ibnu Hazm :
Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari
hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan
meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah saw dan
hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang
yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga
dijadikannya barang rahasia.
- Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm
minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin
Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry)-seorang ulama besar dan
mufti Hijaz dan Syam- untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw.
- Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan
oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
a. Al-Muwaththa, karya Imam Malik Bin Anas (95 H 179
H).
b. Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya
Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
c. Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn Uyainah (198 H)
d. Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
e. Al Musnad, karya imam Syafii (204 H)
E. Periode ke-lima (Masa Kodifikasi Hadits)
1. Periode Penyaringan hadits dari Fatwa-fatwa sahabat
(abad ke-III H)
- Menyaring hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat nabi
- Masih tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu
(palsu).
- Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah
penelitihan ke sahihan hadits.
- Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq
Bin Rahawaih (guru Imam Bukhary).
- Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadits dan
kaidah-kaidah pen sahihan suatu hadits.
- Penyusunan kitab Sahih Bukhory
- Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah),
yaitu kitab-kitab hadits yang diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab
hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi
ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan
dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu adalah :
a. Sahih Bukhory
b. Sahih Muslim
c. Sunan Abu Dawud
d. Sunan An Nasay
e. Sunan At-Turmudzy
f. Sunan Ibnu Majah
2. Periode menghafal dan meng isnadkan hadits (abad
ke-IV H)
- Para ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits
yang sudah tersusun pada kitab-kitab hadits.
- Para ulama hadits mengadakan penelitian
hadits-hadits yang tercantum pada kitab-kitab hadits.
- Ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan
termasuk kuttubus shittah.
3. Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan
Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H s.d 656 H, jatuhnya Baghdad)
- Mengklasifikasikan hadits dan menghimpun
hadits-hadits yang sejenis.
- Menguraikan dengan luas (men syarah) kitab-kitab
hadits.
- Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
- Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadits.
- Menciptakan kamus hadits.
- Mengumpulkan (jami) hadits-hadits bukhory-Muslim
- Mengumpulkan hadits targhib dan tarhib.
- Menyusun kitab athraf, yaitu kitab yang hanya
menyebut sebagian hadits kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad
kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
- Menyusun kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu
hadits dari sahih Bukhory Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad
sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad
sendiri.
- Menyusun kitab istidrak, yaitu mengumpulkan
hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah
seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya.
F. Periode ke-enam (dari tahun 656 H sekarang)
- Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari
Mongol tahun 656 H sekarang ini.
- Menertibkan, menyaring dan menyusun kitab kitab
takhrij.
- Membuat kitab-kitab jami
- Menyusun kitab-kitab athraf
- Menyusun kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan
hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnbya kedalam
sebuah kitab yang tertentu.
IV. Pembagian Ilmu Hadits
Ilmu hadits dibagi menjadi dua : Hadits Riwayah dan
Hadits Dirayah (mushthalahul hadits)
a. Hadits Riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui
cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan apa apa yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain
sebagainya.
Yaitu bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada
orang lain dan memindahkan atau menuliskan dalam kitab hadits. Dalam
menyampaikan dan menuliskan hadits, hanya dinukil dan dituliskan apa adanya,
baik mengenai matan maupun sanadnya.
Ilmu ini tidak berkompeten membicarakan apakah
matannya ada yang janggal atau ber illat, apakah sanadnya terputus atau
bersambungan. Lebih jauh tidak dibahas hal ihawa dan sifat sifat perawinya.
Faedah mengetahui ilmu ini adalah untuk menghindari
adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad saw.
b. Hadits Dirayah adalah kaidah-kaidah untuk
mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits,
sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
Ilmu hadits dirayah ini disebut juga ilmu Mushthalahul
hadits. Kitab yang dianggap paling mapan menerangkan ilmu Mushthalahul hadits
adalah kitab Al-Kilafah karangan Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdady (meninggal
tahun 463 H).
Faedahnya untuk menetapkan ke sahihan suatu hadits dan
untuk menetapkan apakah hadits tersebut dapat diterima (maqbul) untuk diamalkan
atau ditolak (mardud) untuk ditinggalkan.
V. Ilmu Mushthalah Hadits
Dalam memperlajari mushthalah hadits atau dalam
menentukan derajad (ke-sahih-an) suatu hadits akan selalu terkait dalam 3 hal
pokok yaitu : Rawi, Sanad dan Matan
Unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah hadits :
a. Rawi
Rawi adalah orang yang menyampaikan hadits, contoh
dalam hadits :
Warta dari ummul Mukminin Aisyah ra, ujarnya :
Rasulullah telah bersabda : barang siapa yang mengada-adakan sesuatu yang bukan
termasuk urusan (agamaku), maka ia tertolak.
(Hadits Riwayat Bukhary Muslim)
dalam hadits diatas Aiysah ra adalah rawi pertama dan
Imam Bukhary dan Imam Muslim adalah rawi terakhir. Antara rawi pertama dan rawi
terakhir tentunya ada beberapa rawi lagi yang biasanya tidak disebutkan untuk
mempersingkat penulisan.
b. Matan
Matan adalah materi atau isi dari hadits.
Dalam meriwayatkan atau mentransmisikan materi (isi)
hadits ada dua jalan, yang keduanya tidak dilarang oleh Rasulullah saw, yaitu :
1. Dengan lafad yang sama persis dari Rasulullah.
2. Dengan maknanya saja, sedang redaksinya disusun
sendiri oleh orang yang meriwayatkannya.
c. Sanad
Sanad adalah jalan atau jalur transmisi yang
menghubungkan materi hadits (matan) kepada Rasulullah saw.
Misalnya seperti kata Imam Bukhary :
Telah mewartakan kepadaku Muhammad Bin al-Mutsanna,
ujarnya : Abdul Wahhab ats-tsaqafy telah mengabarkan kepadaku, ujarnya : Telah
bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas dari Nabi
Muhammad saw, beliau bersabda : Tiga perkara, yang barang siapa mengamalkannya
niscaya memperoleh kelezatan iman, yakni : 1. Allah dan Rasul-NYA hendaknya
lebih dicintai daripada selainnya. 2. Kecintaannya kepada seseorang, tak lain
karena Allah semata-mata dan 3. Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti
keengganannya dicampakkan ke neraka.
Dalam hal ini materi hadits diterima oleh Imam Bukhary
dari sanad pertama Muhammad Bin al-Mutsanna, terus bersambung sampai dari sanad
terakhir yaitu sahabat Anas ra.
Dengan demikian Imam Bukhary menjadi sanad pertama
bagi kita dan sebagai rawi terakhir pada hadits tersebut diatas.
Dalam ilmu hadits sanad ini merupakan neraca untuk
menimbang sahih atau tidaknya suatu hadits. Andaikata salah satu rawi dalam
jalur transmisi (sanad) itu ada yang fasik atau tertuduh dusta maka hadits
tersebut menjadi dhaif (lemah).
5.1. Pembagian Derajad / Jenis Hadits
Pembagian hadits ahad berdasarkan derajad ke sahihan :
a. Sahih
b. Hasan
c. Dhoif
A. Hadits Sahih
Hadits sahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh
perawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber
illat dan tidak janggal (syadz)
Jadi suatu hadits dapat dikatakan sahih apabila
memenuhi lima persyaratan :
1. Semua rawinya adil.
2. Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)
3. Sanadnya bersambung-sambung tidak putus
4. Tidak ber iilat (cacat tersembunyi)
5. Tidak janggal (Syadz)
Keadilan Rawi
Keadilan seorang rawi menurut Ibnu Samany harus
memenuhi empat syarat :
1. Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi
maksiat.
2. Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama
dan sopan santun.
3. Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat
menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatan penyesalan.
4. Tidak mengikuti pendapat salah satu sekte yang
bertentangan dengan syara.
Sebab-sebab yang menggugurkan keadilan seorang rawi :
1. Diketahui dusta.
2. Tertuduh dusta.
3. Fasik.
4. Tidak dikenal (jahalah)
5. Penganut sekte bidah yang terang terangan dan
bersangatan membela paham bidahnya.
Ulama-ulama hadits menerima periwayatan tokoh-tokoh
syiah yang dikenal benar dan kepercayaan.
Perawi yang tidak langsung ditolak periwayatannya :
a. Orang yang diperselisihkan tentang cacatnya dan
tentang keadilannya.
b. Orang yang banyak kesilapan dan menyalahi imam-imam
yang kenamaan/kepercayaan.
c. Orang yang banyak lupa.
d. Orang yanng rusak akal (pikun) di masa tuanya.
e. Orang yang tidak baik hafalannya.
f. Orang yang menerima hadits dari sembarang orang
saja, baik dari orang kepercayaan maupun yang tidak kepercayaan.
Kalau ada pertanyaan : Bagaimana mengetahui keadilan
seorang rawi ?. Jawabannya adalah dengan mempelajari ilmu Jarh wat Tadil, yaitu
suatu ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan
penilaian adil kepada seorang rawi. Menurut Dr. Ajjaj Al-Khatib Ilmu Jarh wat
Tadil adalah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal para rawi dari segi diterima
atau ditolak periwayatannya.
Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah
satu dari tiga kaidah berikut :
1. Semua sahabat nabi adalah adil, baik yang terlibat
dalam masa pertikain dan peperangan antar sesama kaum muslimin ataupun yang
tidak terlibat.
Sahabat nabi adalah semua orang yang pernah bertemu
Nabi Muhammad saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw masih
hidup dan dalam keadaan Islam lagi beriman.
2. Dengan kepopulerannya dikalangan ahli ilmu bahwa
dia terkenal sebagai orang yang adil, seperti Anas Bin Malik, Sufyan Ats
Tsaury, Syubah bin Al Hajjaj, Asy Syafii, Ahmad Bin Hanbal, dsb.
3. Dengan pujian dari seseorang yang adil, yaitu
ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh seorang yang adil, yang semula rawi itu
belum dikenal atau belum populer sebagai rawi yang adil.
Penetapan tentang kecacatan (tidak adil) juga dapat
ditentukan dengan kepopulerannya sebagai orang yang mempunyai cacat sifat
adilnya atau berdasarkan pentarjihan dari seseorang yang adil.
Men-tadil-kan atau men-tajrih-kan seorang rawi itu ada
kalanya tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) dan adakalanya disebutkan
sebab-sebabnya (mufassar). Untuk yang tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham)
diperselisihkan oleh para ulama tentang diterima atau tidaknya, tapi jumhur
ulama menetapkan bahwa men-tadil-kan tanpa menyebut sebab-sebabnya diterima,
karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua
tentu mubadzir. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan
sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja.
Tentang jumlah orang yang dipandang cukup untuk
men-tadil-kan dan men-tajrih-kan rawi masih diperselisihkan apakah minimal dua
orang atau cukup satu orang saja.
Bila terjadi pertentangan antara jarh dan tadil pada
seorang rawi, yakni sebagian ulama men-tadil-kan dan sebagian ulama
men-tajrih-kan, maka masih diperselisihkan tapi jumhur ulama berpendapat Jarh
harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah yang men-tadil-kan lebih
banyak daripada yang men-jarh-kan. Sebab bagi orang yang men-jarh-kan tentu
mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh orang yang men-tadil-kan,
dan kalau orang yang men-jahr-kan dapat membenarkan orang yang men-tadil-kan
tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang orang yang
men-jahr-kan memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh orang yang
men-tadil-kan.
Perlu diperhatikan juga penilaian jahr oleh beberapa
Muhaditsin yang terkenal keterlaluan dan berlebihan dalam men tajrih seorang
rawi, yaitu Abu Hatim, An Nasaiy, Yahya Bin Main, Yahya Bin Khaththan dan Ibnu
Hibban.
Kitab-kitab yang membahas jahr dan tadil rawi-rawi
hadits yang terkenal diantaranya :
- Ad-Dluafa karya Imam Bukhary.
- Lisanul Mizan karya Al-hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
Kesempurnaan ingatan Rawi
Yang dimaksud sempurna ingatan (dlabith) adalah orang
yang kuat ingatannya, artinya ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan
kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang sampai
mempunyai ingatan (hafalan) yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada
menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan
saja dan dimana saja dikehendaki orang tersebut disebut dlabithush-shadri.
Kalau berdasarkan buku catatan disebut dlabithul kitab.
Cacat-cacat yang merusakkan ke sahihan hadits :
a. Terlalu lengah dalam penerimaan hadits.
b. Banyak salah dalam meriwayatkan hadits.
c. Menyalahi orang-orang kepercayaan (syadz).
d. Banyak berperasangka.
e. Tidak baik hafalannya.
Sanad bersambung-sambung tidak putus
Yang dimaksud sanadnya bersambung-sambung tidak putus
yaitu sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi
dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberikannya.
Untuk mengetahui apakah sanad hadits itu bersambungan
tidak putus atau tidak perlu mempelajari dua macam ilmu yaitu : Ilmu Rijalil
Hadits, ilmu Thabaqoh Ruwah dan Ilmu Tawarihi Ruwah.
Ilmu Rijalil Hadits adalah ilmu pengetahuan yang
membahas hal-ihwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat,
tabiin dan tabiit-tabiin.
Ilmu Thabaqoh Ruwah adalah ilmu yang membahas
pengelompokan sahabat nabi dalam kelompok (thabaqoh) yang tertentu. Thabaqoh
pertama : sahabat yang pertama masuk Islam, thabaqoh kedua : sahabat yang masuk
Islam sebelum musyawarah orang musyrik Mekkah di Darun Nadwah yang berencana
membunuh Nabi Muhammad saw, thabaqoh ketiga : sahabat yang hijrah ke habsy,
thabaqoh keempat : sahabat peserta baiat aqabah pertama, thabaqot kelima :
sahabat yang menghadiri baiat aqobah kedua, thabaqoh keenam : Muhajirin yang
menyusul Nabi di Quba sebelum memasuki Madinah, thabaqoh ketujuh : sahabat
peserta perang Badar, thabaqot kedelapan : sahabat yang hijrah ke Madinah
setelah perang Badar, tahbaqot kesembilan : sahabat yang menghadiri baiat
baitur ridwan, thabaqot kesepuluh : sahabat yang hijrah setelah perjanjian
Hudaibiyah sebelum futuh Mekkah, thabaqot kesebelas : sahabat yang masuk Islam
setelah futuh Mekkah, thabaqot kedua belas : anak-anak yang melihat Nabi
Muhammad saw setelah Futuh Mekkah dan haji wada.
Kitab terbaik yang membahas sejarah, hal-ihwal dan
thabaqot sahabat adalah kitab Al-Isabah karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
Ilmu Tawarihi Ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para
rawi hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadits, mencakup keterangan
tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, kapan
tanggal mendengar dari gurunya, orang-orang yang berguru kepadanya, kota dan
kampung halamannya, perantauannya, tanggal kunjungannya ke negeri yang
berbeda-beda, mendengarnya hadits dari sebagian guru, sebelum dan sesudah ia
lanjut usia dan sebagainya yang ada hubungannya dengan masalah per haditsan.
Kitab-kitab ilmu Tawarihi Ruwah yang tekenal
diantaranya :
- At-Tarikhul-Khabir karya Imam Bukhary. Berisi
biografi 40.000 perawi hadits.
- Tarikh Nishabur karya Imam Muhammad Bin Abdullah
Al-Hakim An-Nishabury. Kitab ini merupakan kitab tarikh terbesar yang banyak
faedahnya.
- Tarikh Baghdad karya Imam Al-Khatib Al-Baghdady.
Kitab ini memuat biografi ulama-ulama sebanyak 7.831 orang.
illat (cacat tersembunyi)
Illat hadits adalah cacat tersembunyi yang dapat
menodai kesahihan suatu hadits, yaitu :
a. Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur
(tidak disebutkan) sahabat yang meriwayatkannya. Hadits seperti ini disebut
hadits mursal.
b. Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur
salah seorang rawinya. Hadits seperti ini disebut hadits munqathi.
c. Adanya sisipan yang terdapat pada matan hadits.
Kejanggalan Hadits
Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan
antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (dapat diterima)
dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat), disebabkan
adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dlabith-an rawinya atau
adanya segi-segi tarjih yang lain.
Klasifikasi Hadits Sahih :
Hadits sahih dibagi menjadi dua bagian : sahih
li-dzatih dan sahih li-ghairih.
Sahih li-dzatih adalah hadits sahih yang memenuhi
syarat-syarat hadits sahih diatas.
Sahih li-ghairih adalah hadits sahih yang diantara perawinya
ada yang kurang dlabith, tetapi mempunyai sanad lain yang lebih dlabith.
B. Hadits Hasan
Hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh
seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya (kurang dlabith),
bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat illat serta kejanggalan pada
matannya.
Klasifikasi hadits hasan : hasan lidzatih dan hasan
li-ghairih.
Hadits hasan li-dzatih adalah hadits hasan yang
memenuhi syarat hadits hasan diatas.
Hadits hasan li-ghairih adalah hadits yang sanadnya
tidak sepi dari seorang yang tidak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak
salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan
haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari
sesuatu segi yang lain.
Hadits hasan derajadnya dibawah hadits sahih.
Menurut Imam Turmudzi dan Ibnu Taimiyah hadits hasan
adalah hadits yang banyak jalan datangnya dan tidak ada dalam sanadnya yang
tertuduh dusta dan tidak pula janggal (syadz).
Dibawah hadits hasan ada yang lebih rendah derajadnya
yaitu hadits dhaif.
Menurut Imam Nawawi : Hadits dhaif yang banyak jalan
dan saling menguatkan bisa naik menjadi hadits hasan. Yaitu hasan li-ghairih,
tapi ke dhaifannya bukan karena ada rawi yang tertuduh dusta atau fasiq. Maka
dengan demikian dapat diamalkan berdasarkan kumpulannya, bukan berdasarkan
kepada satu per satunya.
C. Hadits Dhaif
Hadits dhaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat
atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih atau hadits hasan.
Berdasarkan dapat diterima atau ditolak sebagai hujjah
hadits diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a. Hadits Maqbul : yaitu hadits yang dapat diterima
b. Hadits Mardud : yaitu hadits yang ditolak dan tidak
dapat diterima.
Hadits sahih dan hasan adalah hadits yang maqbul.
Yang termasuk hadits mardud (ditolak) adalah segala
macam hadits dhaif
Klasifikasi hadits dhaif :
a. Dari jurusan sanad, dibagi dua
Pertama : Cacat pada rawi, tentang keadilan dan
kedlabitannya.
Kedua : Sanadnya tidak bersambung, karena ada rawi
yang digugurkan atau tidak bertemu satu sama lain.
Pertama, cacat pada keadilan dan ke dlabitan rawi ada
10 macam :
1. Dusta, hadits dhaif yang karena rawinya dusta,
disebut Hadits maudlu
2. Tertuduh dusta, hadits dhaif yang rawinya tertuduh
dusta disebut hadits matruk.
3. Fasik, yaitu pelaku dosa besar, atau melakukan dosa
kecil dengan terang-terangan dan sering.
4. Banyak salah, yaitu dalam meriwayatkan haditsnya.
5. Lengah dalam hafalan, hadits dhaif yang karena
rawinya fasik, banyak salah dan lengah disebut hadits munkar.
6. Banyak purbasangka (waham), hadits dhaif yang
karena rawinya waham disebut hadits muallal.
7. Menyalahi riwayat orang kepercayaan;
- Dengan penambahan suatu sisipan, disebut hadits
mudraj.
- Dengan memutarbalikkan, disebut hadits maqlub.
- Dengan menukar-nukar rawi, disebut hadits
mudltharib.
- Dengan perubahan syakal huruf, disebut hadits
muharraf.
- Dengan perubahan titik-titik kata, disebut hadits
mushahhaf.
8. Tidak diketahui identitasnya (jahalah), disebut
hadits mubham.
9. Penganut bidah (sekte sempalan), hadits dhaif yang
rawinya penganut bidah disebut hadits mardud.
10. Tidak baik hafalannya, disebut hadits syadz dan
mukhtalith.
Kedua : Cacat karena sanadnya ada yang gugur :
1. Yang digugurkan sanad pertama, disebut hadits
muallaq.
2. Yang digugurkan sanad terakhir (sahabat), disebut
hadits mursal.
3. Yang digugurkan dua orang rawi atau lebih
berturut-turut, disebut hadits mudlal.
4. Yang digugurkan tidak berturut-turut, disebut
hadits munqathi.
b. Dari jurusan matan, dibagi dua :
1. Hadits mauquf, yaitu hadits yang disandarkan hanya
sampai kepada perkataan sahabat tidak sampai kepada Nabi, misalnya Berkata Umar
..
2. Hadits maqthu, yaitu hadits yang disandarkan hanya
sampai kepada perkataan tabiin, misalnya, Berkata Said Ibn Musayyab ..
Pembagian hadits berdarkan banyaknya jalur periwayatan
(sanad)
a. Hadits Mutawatir
b. Hadsis Masyhur
c. Hadits Ahad
- hadits azis
- hadits gharib
Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh
banyak orang yang tidak mungkin bahwa mereka itu telah sepakat untuk berdusta.
Syarat hadits mutawatir :
1. Hadits yang diriwayatkan berdasarkan pendengaran
atau penglihatan sendiri, bukan dari hasil pemikiran, rangkuman atau dugaan.
2. Jumlah rawi-rawinya harus mencapai bilangan yang
mampu mencapai ilmudl-dlarury (meyakinkan).
3. Ada keseimbangan antara rawi-rawi dalam lapisan
pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya ada hadits
yang diriwayatkan oleh 10 orang sahabat kemudian diriwayatkan oleh 5 orang
tabiin dan seterusnya diriwayatkan oleh 3 orang tabiit-tabiin maka hadits
tersebut tidak termasuk hadits mutawatir, karena jumlah rawi-rawinya tidak
seimbang antara lapisan pertama dengan lapisan kedua dan ketiga.
Kitab yang menghimpun segala hadits mutawatir yang
terkenal adalah kitab Al-Azharul Mutanatsirah fil Akhbari Mutawatirah, karya
Imam As Suyuthi (911 H).
Hadits mutawatir memberi faedah ilmu-dlarury, yakni
meyakinkan dan harus menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh
hadits mutawatir karena membawa kepada keyakinan yang qothi (pasti). Rawi-rawi
hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan
kedlabithannya.
Hadits Masyhur adalah hadits yang terdiri lapisan
perawi yang pertama atau lapisan kedua, dari orang seorang, atau beberapa orang
saja. Sesudah itu barulah tersebar luas, dinukilkan oleh segolongan orang yang
tak dapat disangka bahwa mereka sepakat untuk berdusta. Jumhur ulama hadits
mensyaratkan minimal 3 orang perawi.
Ulama-ulama mazhab hanafi men-takhsis-kan (meng khusus
kan) ayat Al-Quran yang umum dengan hadits masyhur ini dan menambah hukum-hukum
yang belum terdapat dalam Al-Quran. Hadits ahad yang belum mencapai derajad
hadits masyhur tidak dapat digunakan untuk fungsi ini.
Imam Malik menjadikan hadits ahad pen takh sis
Al-Quran dengan syarat jika dikuatkan oleh amal penduduk Madinah atau oleh
Qiyas.
Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin Hanbal menggunakan
hadits ahad untuk mentakhsis ayat Al-Quran.
Hadits Ahad adalah segala hadits yang diriwayatkan
oleh orang seorang atau dua orang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat
sebab-sebab yang menjadikannya masyhur.
Hadits Azis adalah hadits yang rentetan perawinya
terdiri dari dua-dua orang atau pada suatu tingkat terdiri dari dua-dua orang
saja.
Hadits Garib adalah hadits yang dalam sanadnya ada
seorang rawi yang menyendiri, di lapisan mana saja penyendirian dalam sanad itu
terjadi.
Berkata Imam Ahmad Bin Hanbal : Jangan kamu mencatat
hadits hadits gharib, lantaran hadits-hadits gharib itu mungkar-mungkar dan
pada umumnya berasal dari orang-orang lemah.
Pembagian Hadits yang bersambung sanadnya :
a. Hadits Musnad, yaitu tiap-tiap hadits marfu yang
sanadnya bersambung
b. Hadits Muttashil/Maushul, yaitu hadits yang
bersambung sanadnya, ada yang marfu, mauquf atau maqthu
5.2. Berhujah dengan hadits / Mengamalkan Hadits
A. Hadits Mutawatir
Mutlak harus diterima bulat-bulat, karena memberikan
keyakinan secara ilmul-dlarury.
B. Hadits Masyhur
Mutlak dapat dipakai hujjah atau diamalkan, dapat
dijadikan pen-takhsish (meng khususkan) ayat Al-Quran yang umum (Am)
C. Hadits Ahad
Apabila sahih mempunyai sifat dapat diterima yang
tinngi, apabila hasan mempunyai sifat dapat diterima yang menengah / rendah,
dapat diamalkan dalam urusan-urusan amal bukan dalam urusan itiqad.
Imam Abu Hanifah menolak hadits ahad untuk men takhsis
dan menasakh ayat Al-Quran.
Imam Malik menjadikan hadits ahad untuk men takhsish
dan menasakh Al-Quran jika dikuatkan oleh amalan penduduk Madinah atau oleh
qiyas.
Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin Hanbal menjadikan semua
hadits ahad untuk men takhsish Al-Quran.
D. Hadits Dhaif
Dalam hal berhujah dengan / mengamalkan hadits dhaif,
terbagi dalam 3 pendapat :
a. Melarang secara mutlak , itu pendapat Imam Bukhary
dan Abu Bakar Ibnu Araby.
b. Membolehkan, yaitu bila dhaifnya tidak terlalu dan
khusus untuk menerangkan fadlilah amal, yang isinya mendorong berbuat baik,
mencegah perbuatan buruk, cerita-cerita dan perkara-perkara mubah. Bukan untuk
menetapkan masalah hukum-hukum syariat seperti halal-haram, akidah. Pendapat
ini dianut oleh Imam Ahmad Bin Hanbal, Abdurrahman Bin Mahdy, Abdullah Ibn
Mubarak, mereka berkata :
Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram
dan hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya.
Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami permudah
sanadnya dan kami perlunak rawi-rawinya
Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany membolehkan berhujah
dengan hadits dhaif untuk keutamaan amal, dengan memberikan 3 syarat :
1. Hadits Dhaif yang tidak terlalu. Dhaif yang karena
rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah tidak dapat dijadikan hujjah.
2. Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits tersebut masih
selaras dengan dasar yang dibenarkan oleh hadits yang lebih sahih.
3. Dalam mengamalkannya tidak meng itiqadkan bahwa
hadits tersebut benar benar dari Nabi, tetapi tujuannya mengamalkan hanya
semata-mata untuk ikhtiyat (hati-hati).
E. Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur perawi pada
tingkatan sahabat. Jadi perawi tabiin tidak menyebutkan nama sahabat yang
meriwayatkan hadits kepadanya.
Bila perawi yang gugur (tidak disebutkan) sebelum
sahabat , baik tabiin atau selainnya, bila satu orang yang gugur dinamakan
hadits munqathi, bila dua orang yang gugur disebut hadits mudlal.
Berhujah dengan hadits Mursal, terdapat perbedaan
pendapat, sebagian menolak dan menganggapnya sebagai hadits dhaif, sebagian
menerima dan menganggapnya sebagai hadits musnad, tetapi jumhur ulama hadits
menerima hadits mursal tapi dengan syarat;
Imam Abu Hanifah menerima hadits mursal, bila yang
meng irsal kan itu sahabat atau tabiin. Irsal yang sesudah tabiit-tabiin
ditolak.
Imam Malik menerima segala hadits mursal dari orang
yang kepercayaan (tsiqoh).
Imam Syafiii hanya menerima hadits mursal dari
periwayatan Said Bin Musayyab dan Hasan Al Basri.
Imam Ahmad Bin Hanbal lebih mengutamakan fatwa sahabat
dari pada menerima hadits mursal.
5.3. Bagan Jenis / Derajad Hadits
Bagan
Jenis / Derajad Hadits
Jenis / Derajad Hadits
I. Mutawatir II. Masyhur III. Ahad
Ada yang Maqbul ada yang Mardud
Maqbul Mardud
1. Sahih 2. Hasan 3. Dhaif *) 5. Masyhur 3. Dhaif 4.
Maudlu
6. Azis
a. sahih b. sahih a. hasan b. hasan 7. Gharib
lidzatih lighairihih lidzatih lighairihih 8. Muttabi
9. Syahid
10. Marfu
11. Musnad
12. Maushul/Muttashil
a. Mutawatir b. Mutawatir c. Mutawatir 13. Mauquf
Lafdhy amali manawy 14. Mahfudh
15. Syadz
16. Maruf
17.Munkar
18. Muhkam
19. Mutasyabih
*) Dengan catatan :
- Dhoif yang tidak terlalu
- Bukan masalah hukum
- Bukan masalah akidah / halal-haram
- Menerangkan Fadhilah amal
- Janji surga dan ancaman siksa neraka
- Cerita cerita atau masalah yang mubah
20. Mukhtalif
21. Nasikh
22. Mansukh
23. Rajih
24. Marjuh
25. Maqthu
26. Mursal
27. Munqathi
28.Mudlal/Musykil
29. Muallaq
30.Mudallas
31. Muallal
32. Mudltharab
33. Matruk
34. Mudraj
35. Maqlub
36. Musalsal
37. Muanan
38. Mushahaf
39. Muannan
40. Mudabbaj 44. Nazil.
41. Sabiq 45. Mubham
42. Lahiq 46. Muharraf
43. Ali 47. Qudsy
5.4. Pertentangan Hadits
5.4. Pertentangan Hadits
A. Pertentangan Hadits dengan Al-Quran
Sebagian ulama menolak hadits yang bertentangan dengan
Al-Quran :
- Ada sebuah atsar menyebutkan : Abu Bakar Shiddiq ra.
mengumpulkan para sahabat dan menyuruh mereka menolak hadits yang berlawanan
dengan Al-Quran.
- Umar Bin Khattab ra. pernah menolak hadits riwayat
Fatimah Binty Qeys yang menerangkan, bahwa istri yang ditalaq habis, tidak
berhak diberikan nafkah dan tempat lagi, karena bertentangan dengan ayat Ath
Thalaq dalam Al-Quran, dan Umar ra berkata : tidaklah saya mau meninggalkan
kitabullah lantaran perkataan seorang wanita yang boleh jadi benar boleh jadi
salah.
- Diriwayatkan oleh Imam Bukhory, Muslim, Turmudzy dan
An Nasay dari Masruq, ujarnya : Aku berkata kepada Aisyah Ummul Mukminin,
apakah Muhammad ada melihat tuhannya ? Aisyah menjawab : Bangun bulu romaku
mendengar perkataanmu, dimana engkau dari tiga perkara, barang siapa menceritakan
yang tiga itu pasti berdusta :
a. Barang siapa menceritakan bahwa Muhammad melihat
tuhannya, adalah dusta, karena firman Allah :
Tiada dapat dilihat Dia oleh segala pandangan dan Dia
melihat segala pandangan, dan Dia itu Maha lembut lagi Maha mengetahui (QS Al
Anam : 103).
b. Barang siapa menceritakan, bahwa dia mengetahui apa
yang terjadi esok hari, berdusta, Allah berfirman :
Tak ada yang seorangpun dapat mengetahui apa yang ia
kerjakan esok hari (QS Lukman : 31).
c. Barang siapa menceritakan, bahwa Muhammad ada
menyembunyikan sesuatu wahyu, maka ia berdusta, karena Allah berfirman :
Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan pada
engkau dari Tuhan engkau, Jika engkau tidak menyampaikan berarti engkan tidak
menyampaikan risalah Allah, dan Allah memelihara engkau dari manusia bahwasanya
Allah tidak menunjuki kaum yang kafir (QS Al Maidah : 67).
B. Pertentangan antar hadits.
Ulama yang pertama kali membahas tentang hadits yang
saling bertentangan adalah Imam Syafii dalam kitabnya mukhtaliful hadits. Apabila
kita mendapati dua buah hadits makbul yang saling bertentangan (menurut
lahirnya), maka :
1. Diusahakan untuk mengumpulkannya (mengkompromikan).
2. Kalau usaha ini gagal, hendaklah dicari mana diantara hadits yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Hadits yang datang lebih dahulu hendaklah dinasakh, disebut hadits mansukh dan yang menasakhnya disebut hadits nasikh.
2. Kalau usaha ini gagal, hendaklah dicari mana diantara hadits yang datang lebih dahulu dan mana yang datang kemudian. Hadits yang datang lebih dahulu hendaklah dinasakh, disebut hadits mansukh dan yang menasakhnya disebut hadits nasikh.
Untuk mengetahui mana hadits yang nasikh dan mana
hadits mansukh nya, dapat diketahui dari beberapa jalan, antara lain :
a. Penjelasan dari syari sendiri, contoh :
Konon aku pernah melarangmu menziarahi kubur. Kemudian
ziarahlah. Dan konon aku pernah melarangmakandaging binatang kurban selama
lebih tiga hari, kemudian makanlah sesukamu (HR Muslim).
b. Penjelasan dari Sahabat
Jabir berkata : yang terakhir dari dua kejadian yang
berasal dari Rasulullah saw ialah meninggalkan wudlu bekas tersentuh api.
c. Diketahui tarikh keluarnya hadits :
Hadits riwayat Syaddad :
Batallah puasa orang yang membekam dan orang yang
dibekam (HR Abu Dawud).
Menurut Imam Syafiii telah di nasakh oleh hadits Ibnu
Abbas ra :
Bahwa Rasulullah saw sedang berbekam, padahal beliau
sedang ihram dan berpuasa.(HR Muslim).
Disebabkan hadits Syaddad tersebut disabdakan oleh
Nabi pada tahun 8 H, yakni saat-saat dikuasainya kembali kota Mekkah, sedang
hadits Ibnu Abbas disabdakan pada tahun 10 H, yakni pada haji Wada.
Imam Syarajuddin Al-bulqiny menyusun ilmu cabang dari
ilmu hadits mengenai awal atau akhirnya dikeluarkan suatu matan hadits dalam
kitab yang diberi nama Mahasinul-ishthilah.
1. Kalau usaha mencari nasikhnya tidak pula berhasil,
beralih kepada penelitian mana hadits yang lebih kuat, baik sanad maupun
matannya, untuk ditarjihkan. Hadits yang kuat disebut hadits rajih, sedang yang
ditarjihkan disebut hadits marjuh.
Contoh : hadits riwayat Ibnu Abbas ra :
Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al Harits
pada waktu beliau ihram.
Hadits tersebut ditarjihkan dengan hadits yang
diriwayatkan oleh Abi Rafi yang mengabarkan :
Bahwa Rasulullah saw menikahi Maimunah Binti Al-Haris
pada waktu beliau tahallul.
Hadits Abi Rafi lebih rajih daripada hadits Ibnu Abbas
karena Abi Rafi sendiri bersama-sama pergi dengan Rasulullah saw dan Maimunah
disaat itu dan kebanyakan sahabat meriwayatkan seperti hadits Abi Rafi.
Mentarjihkan hadits itu, dapat ditinjau dari beberapa
jurusan :
1. Jurusan sanad, misalnya :
a. Hadits yang rawinya banyak, merajikan hadits yang
rawinya sedikit.
b. Hadits yang diriwayatkan oleh rawi besar merajihkan
hadits yang diriwayatkan oleh rawi kecil.
c. Hadits yang rawinnya tsiqah merajikan hadits yang
rawinya kurang tsiqah.
2. Jurusan matan, misalnya :
a. Hadits yang mempunyai arti hakikat merajihkan
hadits yang mempunyai arti majazi.
b. Hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari dua segi
merajikan hadits yang mempunyai petunjuk maksud dari satu segi.
3. Jurusan hasil penunjukan (madlul), misalnya :
Madlul yang positip merajihkan yang negatip.
4. Jurusan dari luar, misalnya :
Dalil yang qauliah (berdasarkan perkataan), merajikan
dalil yang filiyah (berdasarkan perbuatan).
1. Kalau usaha inipun gagal, kedua hadits tersebut
hendaklah dibekukan, ditinggalkan untuk pengamalannya. Hadits yang di tawaqquf
kan ini disebut hadits mutawaqqaf-fihi . Hadits yang dibekukan ini menurut
sebagian ulama dapat diamalkan salah satu, dan ada pula yang berpendapat bisa
diamalkan berganti-ganti dalam waktu yang berbeda.
Hadits yang mengandung pertentangan disebut hadits
mukhtalif.
5.5. Hadits Maudlu (palsu)
Hadits maudlu adalah hadits yang diciptakan serta
dibuat oleh seseorang (pendusta) yang diciptakan itu disandarkan kepada
Rasulullah saw secara palsu dan dusta, baik hal itu disengaja maupun tidak.
Seorang rawi yang diketahui pernah berdusta dengan
menyandarkan riwayatnya kepada Rasulullah saw walaupun sekali dalam seumur
hidup, riwayatnya tidak dapat diterima, walaupun telah ber taubat sekalipun.
Ciri Ciri Hadits Palsu :
1. Dari pengakuannya sendiri, seperti pengakuan
seorang guru tashawuf yang berkata : tidak ada seorangpun yang meriwayatkan
hadits kepadaku. Akan tetapi kami melihat manusia sama meninggalkan Al-Quran,
maka kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat Al-Quran),
agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Quran.
2. Petunjuk yang memperkuat adanya kedustaan, misalnya
seorang rawi mengaku menerima hadits dari seorang guru, padahal ia tidak pernah
bertemu dengan guru tersebut, atau menerima dari seorang guru yang telah
meninggal dunia sebelum ia dilahrikan.
3. Petunjuk dari tingkah lakunya, seperti yang pernah
dilakukan oleh Ghiyat bin Ibrahim dikala berkunjung ke istana Khalifah Al-Mahdi
yang sedang bermain dengan burung merpati, katanya :
Tidak syah perlombaan selain : mengadu anak panah,
mengadu kuda atau mengadu burung.
Perkataan au janahin (atau mengadu burung) adalah
perkataan Ghiyats sendiri, yang spontan ia tambahkan di akhir hadits yang ia
ucapkan, dengan maksud membesarkan hati Khalifah yang sedang mengadu burung
merpati.
4. Dari segi matan, maknanya bertentangan dengan
Al-Quran, hadits mutawatir, Ijma dan logika sehat
5. Menukil kata mutiara (adagium) orang orang yang
dipandang alim yang kemudian disandarkan itu adalah berasal dari Rasulullah
saw.
Motif-Motif yang Mendorong Membuat Hadits Palsu :
1. Untuk memperkuat partainya, Syiah Rafidah dikenal
paling banyak membuat hadits palsu.
2. Untuk merusak / mengeruhkan agama Islam, seperti
Hasan Bin Saba dan orang Persia-Majusi yang benci dan dengki terhadap hegemony
Arab-Islam, tokoh-tokoh zindiq yang ber akidah sesat.
3. Untuk nasihat dan menarik minat hati manusia,
contohnya hadits yang berlebihan dalam menerangkan pahala amal.
4. Fanatik kesukuan, kultus imam, individu, dsb
5. Mempertahankan mazhab fikih ikhtilaf.
6. Mencari muka dihadapan penguasa, contohnya hadits
Ghiyats diatas.
7. Kejahilan dalam ilmu agama disertai kemauan keras
untuk berbuat kebaikan.
VI. Kutubus Sittah (enam kitab induk) dan pengarangnya
Disebut kitab induk karena inilah kitab-kitab hadits
yang oleh jumhur ulama dinilai paling tinggi mutunya diantara semua kitab
hadits yang ada, disusun urut mulai yang paling tinggi mutunya terus kebawah :
1. Sahih Bukhary (Al Jamiush Sahih Al Musnadu Min
Haditsi Rasul saw).
Penulisnya adalah Imam Bukhary (194 H 252 H / 810 M
870 M), kelahiran Bukhara di Uzbekistan, kakeknya seorang Persia beragama
Majusi. Sejak umur 10 tahun sudah tertarik mendalami hadits, berkelana hampir
ke seluruh kota kota besar Wilayah Daulah Islam untuk mencari hadits. Mempunyai
hafalan yang luar biasa, beliau hafal sampai ratusan ribu hadits beserta semua
rawi-rawinya.
Kitab Sahih Bukhory disusun dalam waktu 16 tahun,
terdiri dari 2.602 yang tanpa diulang-ulang. Setiap menuliskan hadits dalam
kitab sahihnya, beliau melakukan sholat sunnah 2 rokaat.
Kitab Syarah (penjelasan secara panjang lebar) Sahih
Bukhory yang terbaik adalah Fathul Bary karya Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.
Jumhur ulama sepakat menilai kitab Sahih Bukhory ini
paling tinggi tingkat ke sahihan dan mutunya.
2. Sahih Muslim
Penulisnya adalah Imam Abul Husain Muslim Bin Hajaj Al
Qusyairy (204 H-261 H / 820 M-875M), murid imam Bukhary. Sama seperti gurunya
beliau berkelana hampir ke seluruh kota kota besar dalam mencari hadits.
Walaupun tingkat kesahihan dan mutu haditsnya masih dibawah Sahih Bukhary,
tetapi sistematika penulisannya lebih baik bila dibandingkan dengan kitab Sahih
Bukhary, karena lebih mudah mencari hadits didalamnya. Kitab Sahih Muslim
berisi sekitar 4.000 hadits yang tidak diulang-ulang.
Kitab syarah nya yang terbaik adalah Minhajul
Muhadditsin, karya Imam Nawawi.
3. Sunan An Nasay (Al Mujtaba Minas Sunan /
Sunan-sunan pilihan)
Penulisnya adalah Imam Abu Abdir Rahman Ahmad Bin
Syuaib bin Bahr (215 H-303 H / 839 M-915 M). Mulanya kitab sunan ini diserahkan
kepada seorang Amir di Ramlah, Amir itu bertanya , Apakah isi sunan ini sahih
seluruhnya ?, Imam An Nasay menjawab : Isinya ada yang sahih, ada yang hasan,
ada yang hampir serupa dengan keduanya. Kemudian sang Amier berkata lagi
Pisahkanlah yang sahih saja. Sesudah itu An Nasay pun menyaring sunannya dan
menyalin yang sahih saja dalam sebuah kitab yang dinamai Al Mujtaba (pilihan).
4. Sunan Abu Dawud
Penulisnya adalah Imam Abu Dawud Sulaiman Bin
Al-Asyats Bin Ishaq As-Sijistany (202 H-275 H / 817 M- 889 M). Beliau mengaku
mendengar hadits sampai 500.000 buah, kemudian beliau seleksi dan ditulis dalam
kitab sunan nya sebanyak 4.800 buah dan beliau berkata : Saya tidak meletakkan
sebuah hadits yang telah disepakati oleh orang banyak untuk ditinggalkan. Saya
jelaskan dalam kitab tersebut nilainya dengan sahih, semi sahih, mendekati
sahih, dan jikadalam kitab saya tersebut terdapat hadits yang sangat lemah maka
saya jelaskan. Adapun yang tidak saya beri penjelasan sedikitpun, maka hadits
tersebut bernilai sahih dan sebagian dari hadits yang sahih ini ada yang lebih
sahih daripada yang lain.
5. Sunan At Turmudzy
Penulisnya adalah Imam Abu Isa Muhammad Bin Isa Bin
Surah (200 H-279 H / 824 M- 892 M), termasuk murid Imam Bukhary. Beliau berkata
: Aku tidak memasukkan ke dalam kitab ini terkecuali hadits yang
sekurang-kurangnya telah diamalkan oleh sebagian fukaha. Beliau menulis hadits
dengan menerangkan yang sahih dan yang tercacat serta sebab-sebabnya
sebagaimana beliau menerangkan pula mana-mana yang diamalkan dan mana-mana yang
ditinggalkan. Kitab Sunan Turmudzy isinya jarang yang berulang-ulang.
6. Sunan Ibnu Majah
Penulisnya adalah Imam Abdu Abdillah Bin Yazid Ibnu
Majah (207 H- 273H / 824 M- 887 M), berasal dari kota Qazwin di Iran. Dalam
kitab sunan Ibnu Majah ini terdapat beberapa hadits dhaif, gharib dan ada yang
munkar. Al Hafidz Al-Muzy menilai kitab Al Muwaththa karya Imam Malik lebih
tinggi mutunya dari Sunan Ibnu Majah, Al Hafidz Ibnu Hajar berpendapat bahwa
kitab induk yang ke enam adalah Sunan Ad Darimy, Ahmad Muhammad Syakir
berpendapat Al Muntaqa karya Ibnu Jarud lebih pantas menjadi yang ke enam.
Kitab-Kitab Hadits yang lain yang penting :
- Sunan Ad Darimy
- Al Muntaqa karya Ibnu Jarud
- Musnad Imam Ahmad Bin Hanbal, aslinya bernilai
tinggi, tetapi setelah Imam Ahmad wafat, anaknya Abdullah dan muridnya Abu Bakr
Al Qathiy menambahkan beberapa hadits lagi, hingga didalamnya tersisip banyak
hadits dhaif dan ada empat buah hadits maudlu.
- Al Muwaththa, karya Imam Malik. Mengandung hadits
mursal dan munqathy yang dipandang sahih untuk diamalkan oleh Imam Malik.
- Sahih Ibnu Khuzaimah, mengumpulkan hadits sahih yang
tidak dimuat dalam sahih Bukhary dan Sahih Muslim.
- Mustadrak Imam Hakim
- Dan masih ada beberapa kitab-kitab hadis yang
lainnya.
VII. Ilmu-Ilmu Cabang Dari Ilmu Hadits
Ilmu-ilmu pendukung lainnya yang merupakan cabang dari
ilmu hadits yang perlu dipelajari juga untuk memahami hadits adalah :
1. Ilmu Rijalil Hadits
Ilmu untuk mengetahui sejarah dan hal-ihwal sahabat,
tabiin dan tabiit tabiin.
2. Ilmu Tawarikhir Ruwah
Ilmu tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir,
tanggal wafat, guru-gurunya, tanggap kapan mendengar dari gurunya, orang yang
berguru kepadanya, kota kampung halamannya, perantauannya, keadaan masa tuanya
dan semua yang berkaitan dengan per haditsan.
Kitab Tawarikhir Ruwah yang terkenal At-Tarikhul-Kabir
karya Imam Bukhary dan Tarikh Baghdad karya Imam Al Khatib Baghdady.
3. Ilmu Thabaqotur Ruwah
Ilmu yang pembahasannya diarahkan kepada kelompok
orang-orang (rawi) yang berserikat dalam suatu alat pengikat yang sama.
Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya
Thabaqatur Ruwah karya Al Hafidz Abu Amr Khalifah Bin Khayyath Asy Syaibany.
4. Ilmu Jarh wa Tadil
Ilmu yang membahas hal-ihwal (keadilan, ke-tsiqoh-an)
para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.
Kitab bidang ilmu ini yang terkenal diantaranya Al
Jarhu wat Tadil karya Abdur Rahman Bin Abi Hatim Ar Razy.
5. Ilmu Gharibil Hadits
Ilmu untuk mengetahui lafadh-lafadh dalam matan hadits
yang sulit lagi sukar dipahami, karena jarang sekali digunakan.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya
Al-Faiqu fi Gharibil Hadits karya Imam Zamakhsyary.
6. Ilmu Asbabul Wurudil Hadits
Ilmu yang menerangkan sebab sebab dan latar belakang
lahirnya hadits.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya Al
Bayan wat Tarif fi asbabi Wurudil Haditsisy-Syarif karya Ibnu Hamzah Al
Husainy.
7. Ilmu Tawarikhul Mutun
Ilmu yang menitik beratkan kapan dan dimana atau di
waktu apa hadits itu diucapkan atau peebuatan itu dilakukan Rasulullah saw.
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya
Mahasinul Ishthilah karya Imam Sirajuddin Abu Hafsh Amar Bin Salar Al-Bulqiny.
8. Ilmu Nasikh Mansukh Hadits
Ilmu yang membahas hadits yang menghapus (nasikh)
hadits lain yang dihapus (mansukh)
Kitab yang terkenal dalam ilmu ini diantaranya
Nasikhul Hadits Wa Mansukhuhu karya Al Hafidz Abu bakar Ahmad Bin Muhammad Al Atsram.
9. Ilmu Mukhtaliful Hadits
Ilmu yang membahas hadits hadits yang menurut lahirnya
saling bertentangan, untuk dikompromikan, sebagaimana halnya membahas hadits
hadits yang sukar dipahami atau diambil isinya, untuk menghilangkan
kesukarannya dan menjelaskan hakikat-hakikatnya.
Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya
Musykilul Hadits wa Bayanuhu karya Abu Bakr Muhammad Bin Al Hasan (Ibnu Furak)
Al Anshary Al Asbihany.
10. Ilmu Ilalil Hadits.
Ilmu yang membahas sebab-sebab yang samar lagi tersembunyi
dari segi membuat kecacatan suatu hadits. Seperti me-muttashil-kan (menganggap
bersambung) sanad hadits yang sebenarnya sanad itu munqathy (terputus),
merafakan (mengangkat sampai kepada nabi) berita yang mauquf (yang berakhir
kepada sahabat). Menyisipkan suatu hadits pada hadits yang lain, meruwetkan
sanad dengan matannya dan sebagainya.
Kitab yang terkenal dalam bidang ini diantaranya
Ilalul Hadits karya Imam Ahmad Bin Hanbal dan AL-Ilal Waridah fil Ahaditsin
Nabawiyah karya Al Hafidz Ali Bin Umar Ad Daraquthny.
Reference :
1. Ikhtishar Mushthalahul Hadits, author : Drs.
Fatchur Rahman, published by : PT. Almaarif Bandung.
2. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, author :
Teungku Moh. Hasbi Ash Shiddieqy, published by : PT. Pustaka Rizki Putra
Semarang